Lihat ke Halaman Asli

Yasintus Ariman

Guru yang selalu ingin berbagi

Menertawakan Kemunafikan di Tengah Khusyuknya Doa

Diperbarui: 10 April 2018   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana biasa, di sekolah kami setiap kali menghadapi Ujian Nasional (UN) selalu  diadakan kebaktian bersama. Tentu kebanyakan yang hadir adalah peserta didik yang akan mengikuti UN. Sementara adik-adik kelasnya meskipun sudah diumumkan secara resmi untuk ikut kebaktian tetapi masih tetap membangkang. Yang hadir bisa dihitung dengan jari. Sementara para siswa peserta UN kelihatan antusias mengikuti ibadat. Pada saat ibadat mereka begitu khusyuk berdoa dengan mata terpejam mengikuti alur doa yang dipimpin oleh ibu pendeta.

Selesai kebaktian, sorang rekan guru berceloteh: "Tumben mereka khusuk berdoa padahal kemarin-kemarin doa masih pake suruh-suruh. Menjelang ujian mereka berdoa dengan penuh kepasrahan. Hm, munafik." Saya sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak mendengar ocehannya. Tetapi saya menahan diri. Dalam hati saya berpikir ini salah satu bahan menarik untuk saya tulis dan saya bagikan, yakni tentang doa dan kemunafikan.

Doa merupakan sarana dimana seseorang bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan yang diimaninya. Dengan berdoa seseorang menyadari keterbatasannya. Dan dalam keterbatasan itu ia memohon pertolongan Tuhan untuk menyempurnakannya. Dalam berdoa dibutuhkan sikap iman atau penyerahan diri yang utuh kepada Dia yang diimani.

Setiap orang  beragama  pasti pernah berdoa. Kalau seseorang tidak berdoa bisa dipastikan orang itu tidak beragama. Memang tidak bisa dibantah bahwa ada begitu banyak ateisme praktis yang berkeliaran di mana-mana di negeri ini. Soalnya banyak orang yang mengaku beragama tetapi tidak pernah menginjak tempat atau rumah ibadah.

Mereka sering berkata: "Toh berdoa bukan hanya di tempat ibadah, di rumah atau di mana saja juga bisa berdoa". Jika ditelusuri lebih dalam, pernyataan ini tidak lebih sebagai upaya melegitimasi kebohongannya.

Tetapi biarlah, setiap orang bebas menentukan sikapnya secara benar seturut hati nuraninya. Dari pada sibuk mengurusi kehidupan orang lain lebih baik fokus pada apa yang menjadi pergumulan pribadi. Egois? Ya bisa saja. Tetapi sejatinya begini, agama bukan hanya urusan pribadi tetapi dalam relasinya dengan orang lain. Artinya, ada sumbangan yang bisa dibagikan sebagai buah dari ritual atau doa keagamaan. Sumbangan itu dalam bentuk kedamaian, kasih persaudaraan dan segala bentuk keperpihakan pada kemanusiaan yang bersifat universal.

Para ateisme praktis itu tentu berpikir dan bertanya: "apa gunanya anda berdoa jika perilaku anda tidak lebih baik dari orang yang enggan ke tempat ibadah? Bahkan anda lebih jahat dari mereka yang tidak mengenal Tuhan. Anda tidak bedanya dengan orang yang munafik atau hidup penuh dengan kepura-puraan."

Ini memang sebuah kenyataan yang perlu direnungkan secara serius dalam kaitan dengan religiositas pribadi. Mungkinkah celoteh seorang guru di atas juga berkaitan dengan sikap iman kita? Jika memang demikian baiklah kita menertawakan kemunafikan diri sendiri di tengah rajinnya kita bersembayang setiap hari dan waktu yang telah ditentukan. Sebab entah sadar atau tidak, kita membungkus perilaku bobrok kita dengan rajin atau tekun berdoa. Atau bahkan sangat mungkin kita baru sadar bahwa kita memang membutuhkan Tuhan saat kekalutan datang mendera. Salam damai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline