Artikel sederhana ini sejatinya ditayangkan pada hari Jumat 30 Maret 2018 yang lalu dimana sesama saudara dari golongan Nasrani mengenang dan merayakan penderitaan atau wafat Isa Almasih. Tetapi karena penulis sibuk berlibur dan baru hari ini masuk kerja maka jadilah artikel ini ditayangkan hari ini. Lagi pula, saya pikir hari ini masih dekat dengan perayaan penderitaan itu. Dan, terlebih karena pengalaman penderitaan selalu akrab dengan kehidupan manusia.
Hidup manusia mermang tidak pernah terlepas dari apa yang namanya derita. Ada banyak penyebab yang memicuh munculnya penderitaan. Sebut saja bencana alam, sakit penyakit, pelecehan, penganiayaan atau penindasan, kemiskinan, serta masih banyak lagi situasi lainnya menyebabkan manusia terpuruk dalam pilunya derita.
Kehidupan yang membelenggu ini tentu saja membuat manusia berjuang untuk mengubahnya. Ia berusaha agar situasi derita yang dialami tidak menderanya lagi.
Setiap usaha apa pun bentuknya tidak akan menghilangkan seratus persen penderitaan yang dialami dan dirasakan tetapi hanya mendekati baik atau pantasnya disebut sekurang-kurangnya lebih baik dari kemarin atau bisa saja lebih buruk dari kemarin.
Lantas, mengapa manusia menderita? Ini merupakan pertanyaan esensial yang menuntut jawaban yang esensial pula. Dalam hal ini, jawaban itu mesti keluar dari sebuah permenungan yang mendalam tentang hakekat ber-ada-nya manusia itu sendiri.
Dari mana manusia itu berasal, untuk apa manusia itu ber-ada, dan kemana manusia itu akan pergi, merupakan rentetan pertanyaan yang tentu saja akan membuka dan mencerahkan pikiran. Walau demikian, manusia tetap saja terjebak dalam kebingungan jika ia tidak sanggup menemukan jawaban yang memuaskan dahaga intelektual serta hasrat batinnya.
Fakta menunjukkan bahwa kecenderungan umum manusia adalah menghindari atau bahkan menolak derita. Sehingga tidaklah mengherankan jika manusia berusaha sekuat tenaga untuk mengubah nasibnya agar menjadi lebih baik. Hal tersebut terungkap dalam bentuk cita-cita, atau harapan yang mesti di raih.
Namun, setelah manusia itu menggapai cita-cita awal maka akan muncul lagi cita-cita baru yang menuntut untuk dituntaskan hingga begitu terus selanjutnya. Inilah ekspresi kefanaan manusia. Keber-ada-an manusia itu sementara, tidak kekal, berubah, dan atau berkembang.
Bahwasannya, tak seorang pun yang sempurna dan abadi di dunia ini. Siklus hidup manusia dari lahir hingga mati, dari bayi hingga jompo, bahkan tak sampai jompo. Dari sapaan nyong hingga bapak, nona hingga nyonya. Suami-istri, orangtua-anak, bapak-mama, opa-oma. Dan, akhirnya mati.
Selanjutnya bagaimana manusia mesti memaknai hidupnya yang sedemikian fana? Apakah cukup berhenti pada kesadaran bahwa manusia itu fana? Kemudian, manusia menjalankan hidupnya seperti adanya layaknya tumbuhan atau hewan.
Tentu saja, manusia tetap tidak akan merasa puas. Ia akan terus berupaya menemukan jawaban yang paling pokok dan mendasar agar ia menjalankan hidupnya bukan hanya mengikuti alur kefanaannya. Hingga pada titik akhirnya di mana akal budinya memiliki keterbatasan untuk memahami segala yang ada.