Lihat ke Halaman Asli

[Novel] Balada Istri Kedua

Diperbarui: 6 Oktober 2016   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Istri kedua.. ya itulah statusku…status yang hanya diketahui  oleh keluarga dan sanak saudaraku. Meski terdengar negatif aku menjalaninya dengan mencoba tidak menghiraukan status. Kala itu aku berumur 23 tahun, perkenalanku dengan Rusdianto menjadi babak awal kehidupanku yang sesusungguhnya. Aku tidak sengaja berkenalan dengan Mas Rusdi melalui kakakku yang bekerja menjadi Marketing Asuransi dan sering  bertemu dengan banyak orang dan calon nasabah baru, hingga suatu saat aku dan kakakku sedang makan di restaurant cepat saji bertemulah kami dengan salah satu nasabahnya yang makan siang sendiri.

Mulailah aku diperkenalkan dengannya, awal singkat pertemuan kami ternyata terus berlanjut dari menitipkan salam, hingga suatu hari Mas Rusdi menghubungiku untuk sekedar jalan. Aku bersedia bertemu kala itu dengan bujuk rayu kakakku yang mengatakan orangnya sangat baik apalagi dia mempunyai perusahaan perkapalan. Tapi apa yang kakakku bujuk  bukan itu menjadi alasanku menerima ajakannya tapi menolak tawarannya yang sudah beberapa kali menghubungiku menjadi satu hal yang tidak enak kurasakan, terlebih dia adalah nasabah kakakku.

Sore itu merupakan pertemuan keduaku ,rasa canggung kami rasakan, usia yang terpatut 15 tahun menjadikan topik pembicaraan hanya datar dan tidak spesifik, hanya 25 menit pertemuan itu, aku mendapat kabar telpon ayahku jatuh sakit dan dilarikan ke Rumah Sakit. Mas Rusdi yang mengetahui pembicaraanku di telpon menawarkan untuk mengantarkanku ke Rumah Sakit. Setelah dia mengantarkanku lama kami tidak pernah saling menghubungi, akupun sempat melupakan sosoknya.

Aktifitasku sehari-hari hanya main dengan teman-teman sekolah SMA ku, nongkrong, jalan tidak jelas arah dan tujuan, karena anak bontot dari tiga bersaudara, aku sangat dimanja oleh kedua orangtuaku. Aku tidak pernah mengerjakan urusan rumah tangga, nilai sekolahpun pas –pasan bahkan bisa dibilang kurang, karena aku sering tidak masuk sekolah. Kondisi ini membuat aku tidak punya tujuan menata masa depanku sendiri. Cuek bahkan tidak memperdulikan lingkungan sekitar adalah diriku. Mungkin orangtuaku hanya pasrah melihat kondisiku dan mereka menunggu saja aku menikah dan selesailah tugas mereka mengurusku sebagai anak.

Enam bulan berlalu setelah Mas Rusdi tiba-tiba menghubungiku, rupanya pekerjaan dan perjalanannya keluar negeri membuat dia tidak bisa bertemu denganku. Saat itu dia sedikit memaksa bertemu dan ada oleh-oleh hasil perjalanannya keluar negeri yang dia belikan khusus untukku. Sepintas nada suaranya terdengar bahagia, entah apa yang membuatnya demikan dalam hatiku.

Kami bertemu kembali dan terlihat raut mukanya berbeda malam itu, topik perbincangan kami sudah lebih baik dari sebelumnya, perjalanannya keluar negeri menjadi obrolan yang menyenangkan kudengarkan.. disela obrolan dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kotak kecil berisi gelang berlian dibukanya dihadapanku. Rupanya selama di luar negeri dia banyak memikirkan diriku, sehingga terbersit membelikanku hadiah agar aku selalu ingat padanya.

Pertemuan yang sering kami lakukan membuat kami merasa dekat satu sama lain, terlebih Mas Rusdi terlihat sangat memperhatikanku dari soal kecil sampai soal kebutuhan materi lainnya. Dia mengajak ku menikah, meski pernikahan secara agama adalah jalur yang harus aku tempuh bersamanya, predikat istri kedua mulai aku sandang ditengah kontroversi kepindahan agamaku mengikuti agama Mas Rusdi, meski ditentang oleh kakak ku yang laki, aku tetap menjalaninya.

Setelah menikah aku mengontrak di suatu Perumahan daerah Bekasi, kehamilanku yang baru memasuki semester  pertama telah membuat perubahan dalam tubuhku. Namun kehidupanku setelah kami menikah bukanlah kehidupan normal layaknya rumah tangga, Mas Rusdi hanya menengokku sebulan empat kali saja, sebab dia menutupi pernikahan kami dari istri pertamanya, yaah sesuatu yang memang menjadi resikoku tentunya. Namun lama-lama aku mulai terbiasa tanpa kehadirannya, sosok ibukulah yang selalu menjagaku setiap saat. Walau jarang datang Mas Rusdi tetap mengirimkan uang untuk kebutuhan kami, kendaraan dan kebutuhan lainnya dengan baik dia penuhi, hingga suatu saat anak kami lahir.

Entah perubahan apa yang telah terjadi pada Mas Rusdi kepadaku, ketika perutku mulai terasa akan melahirkan dia sangat sulit dihubungi, dengan alasan sedang mengurus usaha perkapalannya dan sedang berada di Laut. Sungguh perih kurasakan sebab aku tahu Mas Rusdi tidak kemana-mana, dan aku tidak mengerti ada hal apa yang membatasi dia untuk menemaniku melahirkan, mungkinkah istri pertamanya telah mengetahui keberadaanku, mungkin mereka sedang berada disituasi yang tidak bisa aku bayangkan.

Perutku yang semakin terasa mulas menandakan akan segera lahir anakku, ibuku segera membawaku kerumah sakit, walau dengan susah payah karena tidak ada yang membantu kami saat itu. Anakku lahir dengan selamat sehat dan sempurna, namun belum sempurna jika belum di adzankan oleh ayahnya menurut keyakinan agamaku saat ini. Ibuku yang susah payah mencoba menghubungi Mas Rusdi dan mengatakan untuknya segera datang untuk mengadzankan anaknya. Akhirnya dia datang juga sebentar, memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah baru dan mengurus biaya administrasi Rumah sakit kemudian berlalu pergi.

Ibuku menutupi sikap Mas Rusdi dengan mengatakan padaku bahwa suamiku harus segera ke Bandara untuk suatu urusan bisnis dan tidak bisa berlama-lama serta menitipkan salam padaku yang sedang tertidur pulas pasca operasi cesar. Saat itu sudah banyak timbul tanda tanya besar dalam benakku akan perubahan sikapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline