Oleh : Yarifai Mappeaty
Mungkin hanya lima menit - bahkan tak sampai. DR. Mohammad Sabri AR, Anggota Dewan Pakar MN-KAHMI, berceramah pada salah satu acara buka puasa di Jakarta. Benar-benar singkat karena kumandang azan magrib keburu terdengar saat tiba waktu berbuka. Tetapi meskipun singkat, ia tetap tak urung menyisakan "PR". Bagaimana tidak, kalau dalam ceramahnya, ia mengajukan pertanyaan yang mengingatkan kembali siapa kita sesungguhnya. Suatu pertanyaan fundamental yang memang mesti direnungkan lagi dan lagi.
"Siapa diri kita sesungguhnya?"
Merenungi pertanyaan Sabri - begitu saya memanggilnya - saya berhari-hari merasa berjalan pada lorong yang ujungnya entah dimana. Tak hanya itu, ia juga seolah memaksa saya menyelam lebih dalam. Enggan. Bukan apa, saya hanya bermaksud menghindar dari narasi seperti sering dinarasikan oleh orang yang seolah-olah paham akan hakekat. Misalnya, kira-kira mau dijawab apa kalau sampai bertemu narasi : siapa disembah - siapa menyembah? Ini membuat sampai enggan melakukannya.
Tetapi beruntung Sabri memberikan perspektif yang benar-benar bisa membantu. Bahwa, apakah kita adalah diri rohani yang terperangkap pada raga jasmani? Ataukah kita adalah diri yang tampak kasat mata sebagai raga jasmani? Dengan argumen yang menawan, ia tegas menyebut kalau diri rohani sesungghunya adalah diri kita yang otentik. Hanya karena diri rohani ini terperangkap oleh raga jasmani sehingga keotentikannya mengalami proses degradasi. Sabri kemudian menggambarkan diri rohani sebagai emas murni yang terpapar oleh unsur-unsur lain secara terus menerus, sehingga yang tampak bukan lagi sebagai emas murni.
Untuk menemukan kemurniannya kembali, emas tersebut harus dilebur melalui proses pembakaran. Ramadhan, menurut Sabri, sejatinya memang bermakna pembakaran. Dengan demikian, puasa di bulan Ramadhan pada hakekatnya adalah suatu ritual proses pemurnian diri rohani guna menemukan kembali diri yang otentik. Dengan kata lain, puasa adalah upaya pembebasan diri rohani dari selubung kepalsuan.
Lebih jauh, Sabri mencoba menghubungkan diri rohani dengan konsep tau pada tradisi masyarakat Sulawesi Selatan. Tau menurutnya adalah diri rohani itu sendiri yang ada pada setiap manusia (rupa tau) yang hidup. Di sini, Sabri menyebut tau sebagai jejak manifestasi ilahi. Tau inilah yang membuat manusia hidup, seperti listrik pada komputer. Bayangkan kalau tau sampai hilang, maka yang ada tinggal rupa, bukan lagi rupa tau.
Masih pada terma ini, Sabri lantas menyinggung sipakatau. Selama ini, Sipakatau kita pahami sebagai sikap saling menghormati atau saling menghargai. Sipakatau ini terjadi karena adanya tau dalam setiap diri manusia yang saling mengenal satu sama lain. Pada esensinya, tau ini hanya satu dan berasal dari sumber yang satu. Sehingga tau yang di situ, adalah juga tau yang di sini. Dengan begitu, sipakatau pada hakekatnya tidak lain dari penegasan Sang Tau akan eksistensi dirinya sendiri.
Merenungkan eksistensi tau ini pada setiap diri manusia, saya lantas membayangkan duduk di sebuah warung kopi sembari menghisap rokok, santai. Lalu, seseorang dari meja sebelah menghampiri dan meminta api kecil yang tersulut pada ujung rokok saya. Setelah ujung rokoknya tersulut, ia kemudian kembali kemejanya. Saya diam-diam mengamati bagaimana api kecil itu berpindah dari satu ujung rokok ke ujung rokok yang lain. Lantas terpikir oleh saya kalau api kecil itu berpindah dengan cara seperti itu, maka ia dapat berada pada ribuan, jutaan, bahkan milyaran ujung rokok.
Lalu, timbul pertanyaan, apakah api kecil pada setiap ujung rokok itu adalah api kecil yang berbeda? Jawabnya, tidak. Tetapi api kecil yang berada pada milyaran ujung batang rokok itu, adalah api kecil yang sama dari sumber yang sama, yaitu api kecil di ujung rokok saya. Analogi ini adalah tamsil yang paling sederhana untuk memahami konsep tentang diri rohani yang otentik : Tau hanya satu, tetapi yang banyak adalah rupa tau.
Konsep tau pada tradisi masyarakat Sulsel ini, sebenarnya juga dapat menjelaskan kadar kualitas spiritual. Selain tau dan rupa tau, juga dikenal istilah tau-tau. Tau menunjukkan kualitas rohani tertinggi. Rupa tau berada pada level yang lebih rendah dan miskin rohani. Sedangkan tau-tau adalah suatu keadaan yang berlawanan secara diametral dengan tau. Jika tau adalah diri yang otentik, maka tau-tau adalah diri yang palsu. Bayangkan orang-orangan di sawah yang ditaruh untuk mengusir burung.