Lihat ke Halaman Asli

Catatan Debat Publik Pertama Pilgub Sulsel

Diperbarui: 31 Maret 2018   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

CATATAN DEBAT PUBLIK PERTAMA PILGUB SULSEL

 Oleh : YARIFAI MAPPEATY

(Direktur ELEKtaStrategic)

Bertempat di sebuah hotel ternama di Makassar, keempat pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, bertemu untuk pertama kalinya pada hari Rabu, 28 Maret 2018, semenjak memasuki masa kampanye Pilkada 2018. Pertemuan itu berlangsung dalam suatu forum debat yang diselenggarakan oleh sebuah TV swasta Nasional.  Dipandu seorang presenter nasional ternama,  debat mengambil tema, " pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berorientasi pada pemerataan ekonomi dan kesejahteraan rakyat"

Memang debat berlangsung hangat, cair dan bersahabat. Tetapi secara subtantif,  terdapat sejumlah catatan penting yang perlu digarisbawahi.  Antara lain, terutama, debat itu gagal mengelaborasi tema. Bukan hanya itu, bahkan frasa pembangunan berwawasan lingkungan atau frasa lain yang semakna dengan itu, pun, jarang disebut, misalnya pembangunan berkelanjutan. Padahal ada beberapa momentum bagi para pasangan calon (Paslon) untuk melakukan elaborasi.  Penulis mencatat bahwa debat yang berlangsung dalam enam sesi itu, setidaknya ada dua momentum bagi para paslon untuk mempertontonkan keluasan wawasannya. Momentum itu adalah  pada  sesi pemaparan visi -- misi dan sesi dimana para paslon diberi kesempatan melontarkan pertanyaan kepada Paslon lainnya. 

Pada sesi pemaparan visi -- misi, penulis merasa sangat kecewa melihat penampilan Para Paslon. Beruntung masih ada Paslon nomor 1, Nurdin Halid -- Aziz Qahhar (NH -- AZIZ) yang berhasil menghubungkan visi -- misinya dengan tema debat, sehingga Penulis sedikit terhibur.  Setelah dua menit Nurdin Halid melakukan pemaparan, Aziz dengan sigap mengambil waktu yang tersisa. Aziz yang tampil lemah lembut menyebut bahwa tema debat malam itu sesuai dengan misi mereka yang kesembilan, yaitu, Meningkatkan infrastruktur untuk mempercepat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Aziz bahkan sempat menyitir dengan cantik tentang peringatan Al-Qur'an menyangkut kerusakan lingkungan. " Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia".

Kapasitas seseorang, dapat dinilai tak hanya dari  ketika sedang menjawab pertanyaan. Tetapi, juga ketika sedang melontarkan pertanyaan.  Ekspektasi Penulis  membuncah, ingin mengetahui seberapa luas wawasan Para Paslon terkait issu pembangunan berkelanjutan. Untuk itulah Penulis memutuskan tetap anteng, bergeming di depan pesawat televisi menungggu sesi keempat. Menunggu momentum masing-masing Paslon melontarkan pertanyaan kepada Paslon lainnya.

Tetapi apa yang terjadi? Secara umum, ekspektasi Penulis nyaris tak terpenuhi. Pertanyaan yang dilontarkan masing-masing Paslon, miskin elaborasi. Satu-satunya momentum yang memenuhi ekspektasi Penulis adalah ketika debat  Nurdin Halid dengan Ichsan (Cagub Paslon no. 4). Pada momen ini, ada dua hal yang penulis catat. Pertama,pertanyaan yang dilontarkan Nurdin Halid kepada Ichsan yang kurang lebih,  "bagaimana cara anda agar asset modal yang dihasilkan selama pemerintahan anda, dapat diwariskan kepada generasi mendatang?" Pertanyaan inilah sebenarnya esensi, subtansi, dan urgensi konsep pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development diperkenalkan pada 1987 oleh Brundtland Commision sebagai paradigma baru pembangunan dunia. Yaitu, pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa menghilangkan kesempatan bagi generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Kemudian, PBB pada 2010, menterjemahkannya ke dalam konteks operasional, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah kemampuan manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya (utilitas) yang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas asset modal (kekayaan).

Asset modal yang dimaksud, meliputi segala bentuk produk kreasi manusia (modal buatan);  keterampilan, ilmu pengetahunan dan teknologi (modal SDM); modal sosial; serta modal sumber daya alam (SDA). Hasil agregasi atau gabungan dari asset modal tersebut, harus lebih besar dari pada NOL.  Hal ini, DR. Irwan Nur, Dosen Pasca Sarjana Unhalu,  melihatnya bukan hanya sebagai definisi operasional pembangunan berkelanjutan, tetapi juga sebagai pendekatan yang benar di dalam menghitung PDRB, yang disebut sebagai Green PDRB

Mengapa hasil agregasi itu harus lebih besar dari pada Nol? Sebab SDA yang kita eksploitasi saat ini, selain menghasilkan suatu nilai atau modal, juga, lingkungan dimana SDA itu berada, pasti mengalami degradasi dan menimbulkan dampak negatif, sehingga nilainya cenderung menjadi minus. Untuk mengkompensasi nilai minus ini, maka harus dilakukan investasi, misalnya membangun berbagai macam infrastruktur, SDM, dan modal sosial masyarakat. Nilai total agregasi invetasi ini, harus lebih besar dari Nol. Sebab kalau tidak, kita akan dikutuk oleh anak cucu kita, karena sumber daya alam kita habiskan tanpa ada sesuatu yang kita wariskan kepada mereka. Inilah jawaban atas pertanyaan Nurdin halid kepada Ichsan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline