Sungguh mengherankan, berita pada zaman milenial ini diukur benar dan salahnya hanya berdasakan emosi semata, bukan berasal dari fakta objektif. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi juga di Amerika dan Britania. Fenomena ini biasa disebut "Post-Truth", yang terpilih menjadi Word of the Year by Oxford Dictionaries di tahun 2016. Post-truth digunakan untuk menggambarkan keadaaan dimana banyak orang lebih memilih berita dari sembarang orang demi menyenangkan hatinya daripada fakta dari para ahli yang menghasilkan ketidakpuasan batin.
Hal tersebut diperparah akibat keadaan di Indonesia yang terlalu lama tumbuh di pemerintahan Orde Baru (Orba) dimana berita disampaikan hanya dari satu arah, berbanding terbalik dengan masa sekarang dimana berita bisa datang dari mana saja. Situasi dan kondisi di rezim Orba menyebabkan rendahnya literasi media di masyarakat, belum lagi ditambah fakta dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 yang menyebutkan bahwa di Indonesia hanya 34,27% dari jumlah penduduk di atas 15 tahun berhasil lulus SMA dan hanya 17,91% dari jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Yang berarti bahwa terdapat ratusan juta penduduk Indonesia memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Sehingga derasnya arus informasi yang membanjiri masyarakat dari segala arah dapat dipastikan tidak mampu dibendung lagi karena tidak dibarengi dengan tingkat literasi yang cukup. Berdasarkan studi "Most Littered Nation in the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia hanya unggul dibandingkan Botswana yang berada di peringkat akhir, sedangkan pada peringkat pertama bertengger Finlandia.
Tulisan ini ditujukan untuk umum, semua orang boleh membacanya. Namun, saya sangat menginginkan Ustadz Sugi Nur Raharja alias Gus Nur juga berkesempatan membaca seluruh tulisan ini. Setelah sebelumnya, saya juga pernah menuliskan sesuatu untuk Jonru Ginting. Saya sangat kecewa dengan Gus Nur karena seringkali berbicara tidak pada tempatnya dan tidak menunjukkan akhlak yang mulia dalam bermedia sosial, bertentangan dengan Fatwa MUI no.24 tahun 2017 tentang "hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial".
Saya mohon kepada Gus Nur agar belajar lagi memahami suatu hal sebelum berbicara di depan publik, sumbernya dari mana supaya bisa diklarifikasi. Kalau hanya asal menelan mentah-mentah berita yang dilihat dan didengar maka tidaklah berbeda dengan "taklid" buta. Saya sarankan Gus Nur untuk ber-tabayyun, terutama kepada Presiden Jokowi, K.H. Said Aqil Siroj, dan Buya Syafii Maarif, atas segala tuduhan yang sudah beredar di dunia maya. Saya tidak meragukan gelar "gus" di nama panggilan Gus Nur, karena menurut Gus Mus, panggilan "gus" sebenarnya diberikan untuk anak kiai yang belum pantas dipanggil "kiai".
Cak Nun juga mengatakan bahwa gus itu panggilan yang berlaku ketika seseorang belum mengaji kitab kuning. Namun, sekarang ini kata gus dijadikan industri, bahkan dianggap lebih tinggi derajatnya daripada ulama atau kiai. Dalam videonya di Youtube, Gus Nur pernah mengatakan bahwa ia tidak terlalu memahami kitab kuning atau kitab gundul. Hal tersebut membuat saya ragu apabila Gus Nur harus berhadapan face to face dengan ustad-ustad Wahabi, saya tidak yakin Gus Nur bisa mengatasi argumen-argumen dari para ustad Wahabi saat berdebat. Terlebih lagi, Gus Nur tidak bisa membedakan makna kata tekstual dan kontekstual. Bahkan Gus Nur juga tidak mengerti bedanya kritik dan tuduhan.
"Dan, janganlah menyibukkan dirimu dengan apa pun yang tidak kau ketahui: sungguh, pendengaran[mu], penglihatan[mu], dan hati[mu]---semuanya itu---akan dimintai pertanggungjawabannya [pada Hari Pengadilan]! Dan, janganlah berjalan di muka bumi dengan menyombongkan diri: sebab, sungguh, kamu tidak akan pernah mampu meluluhlantakkan bumi dan tidak pula mampu menjadi setinggi gunung!"
-The Message of the Quran (QS. 17: 36-37), Muhammad Asad
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) mungkin mengundang banyak pertanyaan bagi masyarakat awam, termasuk saya. Gerakan tersebut permanen, maksudnya untuk setiap fatwa MUI, atau hanya sebatas fatwa tertentu saja dan bersifat sementara. Hal ini sangat anomali sekali karena sampai saat ini, MUI telah mengeluarkan puluhan fatwa.
Anehnya, kenapa GNPF-MUI ini terlihat sangat aktif hanya menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017? Mungkin, para pendukung GNPF-MUI akan sangat senang sekali jika setiap fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dikawal dengan baik. Jikalau perlu, seluruh fatwa MUI harus dirayakan dengan dzikir dan doa bersama agar kita semua selalu dalam perlindungan-Nya.
Tentunya gerakan anti fitnah Indonesia yang tergabung dalam "TurnBackHoax" akan bahagia sekali jika fatwa MUI tentang "hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial" dikawal bersama oleh segenap gabungan masyarakat dan dipimpin oleh GNPF-MUI. Tapi seperti yang kita lihat bersama, fatwa MUI tersebut tidak mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari netizen. Kita masih melihat hingga saat ini bahwa sangat banyak berita bohong atau hoax masih menyebar dimana-mana melaui internet. GNPF-MUI seakan lupa dengan latar belakang dibuatnya nama gerakan itu sendiri. Tidak ada lagi demo membela fatwa MUI di jalan-jalan seluruh Indonesia, pelaku penyebar konten kebencian pun luput dari perhatian jutaan massa. Kami semua merindukanmu wahai GNPF-MUI, mari kita perangi bersama penyebar berita bohong alias fitnah alias hoax di media sosial demi persatuan dan kesatuan umat. Allahu akbar!