Lihat ke Halaman Asli

Layanan KRL Commuter Line Makin Buruk

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Ignatius Jonan dilantik menjadi Dirut PT KAI pada 2009, kami berpikir layanan KRL Commuter Line akan bertambah baik dan memuaskan pengguna jasa kereta komuter tersebut. Namun kenyataannya, hanya terjadi perubahan pembersihan PKL dari areal stasiun dan memperkenalkan sistem kartu untuk tanda penumpang naik KRL. Kemudian pada 2014 jabatan Jonan diperpanjang lagi hingga 2019, layanan KRL lagi-lagi belum terlihat kemajuannya, kecuali penambahan gerbong bekas yang dibeli dari Jepang sebagai langkah antisipasi penambahan kapasitas penumpang di areal Jabodetabek.

Lalu bagaimana layanan penumpang sudah membaik? Jawabannya belum. Karena hampir setiap hari ada penumpang pingsan di dalam gerbong KRL Bogor-Jakarta, karena kepadatan yang sangat luar biasa sekali sehingga ada saja penumpang yang pingsan.

Bagaimana dengan keterlambatan jadwal KRL? Ternyata sampai sekarang keterlambatan KRL semakin menjadi-jadi. Bahkan adanya tambahan jadwal perjalanan dijadikan alasan keterlambatan. Padahal dari dulu persoalan keterlambatan tidak pernah teratasi dengan baik. Apalagi menerapkan jeda waktu antar KRL maksimum 10 menit sudah tak terhindarkan lagi.  Yang pasti setiap hari, jadwal perjalanan KRL baik rute Bogor-Jakarta maupun Bekasi-Jakarta sering terlambat, rata-rata lebih dari 10-15 menit.

Alasan keterlambatan klasik, yaitu antrean menjelang masuk stasiun Manggarai, atau mau masuk stasiun Gambir.

Tidak hanya itu. Keterlambatan akibat cuaca hujan yang secara reguler setiap tahun pasti ada musim hujan, alasan keterlambatan KRL klasik juga antara lain gangguan sistem wesel, ada pohon tumbang, listrik aliran atas padam, yang merupakan alasan sama sebelum Jonan menjabat Dirut PT KAI.

Kami sebagai penumpang KRL yang sudah lebih dari 10 tahun sama sekali tidak merasakan perubahan layanan yang berarti. Bahkan dari waktu ke waktu terasa tersiksa naik KRL di saat jam kantor baik pagi maupun pulang kantor (sore). Kepadatan penumpang sudah keterlaluan, sementara PT KAI-KCJ sama sekali tidak ada upaya mendidik penumpang untuk patuh dan tertib pada aturan penumpang di dalam gerbong.

Harusnya ketika Jonan masuk menjabat Dirut PT KAI, bukan hanya melakukan perubahan fisik stasiun dan perubahan sistem karcis, tapi sekaligus mampu mengubah kultur baik internal PT KAI-KCJ maupun kultur penumpang KRL menjadi lebih tertib, merasa KRL milik publik, dan kaum ibu hamil, lansia dapat menikmati hak tempat duduk prioritas dengan nyaman dan tenang.

Ternyata sampai sekarang, banyak penumpang yang seenaknya duduk di KRL yang bukan haknya. Ini tentu saja membuat kaum ibu hamil maupun lansia serta ibu membawa anak terus menerus menderita sepanjang perjalanan menggunakan KRL, karena tempat duduk prioritasnya "dirampas" oleh yang bukan berhak.

Jonan juga kurang memperhatikan kebutuhan konsumen sesuai kaidah pemasaran pada umumnya. Penumpang yang ingin merasa nyaman, tenang dan aman sampai di perjalanan, ternyata harus berjuang sampai berkeringat sambil berdiri kepanasan, karena AC KRL sering mati entah kenapa?

Sudah banyak penumpang mengusulkan agar KRL Ekspres yang pernah ada di waktu lalu (Pakuan Eskpres dan Bekasi Ekspres) supaya dihidupkan kembali, Jonan tampaknya tidak menggubris usulan tersebut. Padahal di waktu lalu, KRL Ekspres itu sangat membantu kebutuhan bagi penumpang yang ingin lebih cepat sampai di tujuan dengan nyaman, meski dengan tarif lebih mahal dari reguler.

Namun Jonan tetap mempertahankan sistem tarif murah sampai sekarang, akan bertahan berapa lama? Sementara kenyamanan penumpang harus dikorbankan demi tarif murah itu? Seorang pemimpin yang baik seperti Presiden Soeharto, penuh perhatian kepada strata masyarakat dari golongan kaya hingga miskin merasakan kenikmatan atau pelayanan yang merata. Jangan seperti zaman sekarang, semua penumpang KRL harus dan terpaksa merasakan kesulitan berdiri di dalam KRL, bahkan berdesak-desakan seperti lazimnya tumpukan barang yang selalu dipaksakan, bahkan berebutan saat naik maupun turun KRL.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline