"Sembilan bulan aku didalam perut malaikat tanpa sayap, harusnya aku tak takut kepada dunia yang gelap."
Aku terlahir diatas padi, disebuah kota yang konon orang-orang nya ramah dan rajin ibadah. Bapakku adalah petani yang setiap panen hanya mendapatkan keringat dan kekecewaan. Ibu? Ibu adalah wanita sederhana yang hidup seadanya. Dengan lahirnya aku, mungkin akan menambah kesengsaraan mereka didunia.
Sejak kecil aku memiliki ketakutan kepada dunia. Sebagai anak laki-laki, aku terbiasa menanggung beban dipundak. Entah beban karena harapan tinggi dari keluarga, ataupun beban kehidupan yang semau itu bercampur aduk menjadi satu.
Sungguh sangat tidak enak hidup dibayang bayangi ekspetasi. Memikirkan hidup yang belum terjadi bukankah menjadi beban bagi diri sendiri? Bukankah hidup seharusnya seperti air yang mengalir? (Asalkan mempunyai tujuan)
Que sera sera; apapun yang terjadi maka terjadilah.
Sekarang, layaknya seekor burung yang sudah beranjak dewasa, aku bebas terbang kemanapun yang aku mau. Bilamana lelah, aku akan mencari tempat singgah ataupun sekedar meneduh.
Di perkuliahan, aku bertemu banyak orang-orang yang (mungkin) suatu waktu akan menjadi teman. Kebanyakan mereka orang yang apatis, ego, ambisius. Ada juga yang intelektual, sederhana, rendah hati. Tak mengapa, bukankah setiap manusia itu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda?
Tetapi dari banyaknya orang yang aku temui, yang memiliki kepintaran diatas rata rata, yang tinggi pendidikannya, yang berfikiran terbuka (katanya) . Aku malah mengingat ibu. Ibu sama sekali tidak seperti itu. Tapi sungguh kesederhanaannya yang aku rindu.
.
Suara klakson mobil dibelakang membuyarkan lamunanku. Ku kayuhkan skuter tuaku menuju kedai. Oh ya, sore ini aku ada janji bertemu teman lama. Bram namanya. Bram adalah kawan ku saat SMA dulu. Kita sepakat bertemu di kedai kopi dipinggiran kota.