Lihat ke Halaman Asli

Transformasi KAI Commuter: Dulu, Kini, dan Nanti

Diperbarui: 6 September 2023   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto pribadi: Commuter Line 

"Naik kereta api... Tut tut.tut... Siapa hendak turut? Ke Bandung.. Surabaya... Bolehlah naik dengan percuma.. "

Begitulah lagu Naik Kereta Api yang diciptakan Ibu Sud, lagu abadi yang saya hapal sejak masih ingusan, dan masih saya hapal sampai sekarang. Setahu saya, hidup saya tidak jauh dari dunia perkeretaapian.

Bapak Ibu saya sekeluarga pengguna kereta  dan KAI commuter yang setia. Sejak jaman kecil, saya sudah menikmati naik kereta api bersama orang tua pulang mudik ke Madiun Jawa Timur di era 1970 an.

Waktu itu dunia perkeretaapian masih kuno, sekuno gedung stasiunnya. Petugasnya banyak yang sepuh. Pelayanannya masih tradisional dan manual. Masih terngiang di telinga kecil saya suara peluit masinis saat meninggalkan peron stasiun.

Saat saya lahir sampai dengan usia 5 tahun, kami  sekeluarga tinggal berseberangan depan rel kereta api. Kami tinggal  di komplek Lakespra Saryanto, Cikoko Pengadegan, Jakarta Selatan, tepatnya di gedung Menara Saidah berdiri sekarang. Dulu, Menara Saidah belum ada.

Bapak saya TNI AU, tinggal di lingkungan rumah yang berdekatan dengan pemukiman kampung Betawi, memiliki halaman yang luas. Halaman yang bisa digunakan permainan gobak sodor, lempar batu, dan bersepeda, tidak jauh dengan rel kereta  yang waktu itu masih satu jalur.

Cikoko Pengadegan tahun 70 an masih sepi dan lengang. Kereta  juga belum banyak yang lewat. Suara lengkingan dan jugijag gijug mesin kereta  masih terdengar merdu saat itu. Apalagi kalau suara lokomotif warna hitam lewat depan rumah, suara peluit kereta  sambil mengepulkan asapnya, menambah kenangan yang tak terlupakan.  Masih teringat saat kecil, kami bersaudara berangkat sekolah melalui terowongan cawang yang waktu itu belum bisa dilalui kendaraan bermotor, masih bebatuan dan gelap.

Sayangnya setelah usia 5 tahun, kami sekeluarga pindah ke Tebet dan sudah tidak pernah lagi mendengar suara kereta.

Mungkin saya ditakdirkan tidak boleh jauh dari perkeretaapian. Waktu SMU, lingkungan sekolah saya berada di komplek  perumahan PJKA yang berubah nama menjadi perumka Bukit Duri.

Saat saya dewasa dan bekerja, kami tinggal di Bogor. Dan karena lokasi pekerjaan di jalan Medan Merdeka Jakarta, saya memilih transportasi paling mudah, juga transportasi paling cepat dan aman saat itu, ya  KAI commuter, Kereta  Pakuan namanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline