"Sudah malam tapi belum makan! Tadi siang kehabisan nasi bakar ayam suwir balado favorit, "ujar Yanti. Jam di HPnya menunjukkan angka 20.30 WIB.
"Saya buatkan ya, Bu, "sergah Asmawi Hasyim, mahasiswa Informatika UP Tuanku Tambusai yang bekerja paruh waktu di Pondok Lesehan Bukit Semilir.
Anak muda berambut keriting ini langsung menyiapkan alat bakar dan piring lidi beralaskan kertas bungkus nasi. Tangannya cukup lincah memotong ketimun dan tomat. Sambal terasinya juga sudah siap disajikan bersama nasi bakar panasnya.
"Ibu sudah berhenti makan nasi sejak 2008. Tapi di sini ibu kembali bisa menikmati nasi bakar, " imbuh Yanti sambil membuka nasi bakar panas.
.
"Ibu bukan hanya melanggar pantangan nasi, juga makan duren, minum kopi, dan tempe tahu goreng bacem, ya, "David mampir sejenak di hadapan Yanti, ikut menimpali.
Ada hal yang maha penting yang tidak diketahui Hasyim dan David. Yanti menghentikan hampir semua kebiasaan baik yang dibangunnya dengan susah payah sejak 28 Oktober 2020. Ia pun meminta ijin berhenti menjalankan usaha kepada mentor yang mengajaknya membangun mimpi.
Apa pasal?
Impian terbesar Yanti adalah membangun 100 Rumah Kerlip di Indonesia sebagai wahana kolaborasi multipihak untuk memastikan tak ada anak tidak sekolah di wilayah tempat tinggalnya.
Peresmian 100 Desa Kreatif oleh Bupati Kampar yang disaksikan Menparekraf Sandiaga Uno mendorong Yanti untuk mengintegrasikan Rumah Kerlip Beriman di 100 Desa Kreatif tersebut. Apalagi relawan pendidikan dari Sibuak mau menerima amanah mengelola Rumah Kerlip Beriman.
Keyakinan Yanti tumbuh bersama komitmen Satiti Rahayu bersama suaminya Muizin Firmansyah untuk bekerja sama dalam percepafan pembangunan desa sangat tertinggal dan tertinggal di Kampar.