Lihat ke Halaman Asli

Waspada Sindroma Metabolik bagi Masyarakat Perkotaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_113345" align="alignright" width="640" caption="Buku "][/caption] Judul Buku : Sindroma Metabolik di Indonesia

Penulis : Nurhaedar Jafar

Penerbit : Ombak Yogya

Cetakan: Pertama, April 2011

ISBN: 978-602-8335-70-3

Buku ini berasal dari disertasi penulis yang mengulas tentang Sindroma Metabolik perspektif ilmu gizi. Nurhaedar menelusuri data Riskesdas 2007 sebagai bahan utama penelitiannya. Menurut Nurhaedar, mengutip Wijaya (2004) Sindroma Metabolik adalah kelainan metabolik kompleks yang diakibatkan oleh peningkatan obesitas. Komponen utama Sindoma Metabolik adalah obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi.

Selama ini faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab Sindroma Metabolik terkait dengan obesitas, antara lain, pola makan, kurang olahraga, kelainan metabolisme, mekanisme neuroendokrin, psikologi, obat-obatan,faktor sosial ekonomi dan gaya hidup serta faktor genetika. Faktor psikologi dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya emosional yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut menyebabkan individu cenderung untuk melakukan pelarian diri (self mechanism defence). Bentuk pelarian diri bisa berupa mengonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang berlebihan. Sindroma Metabolik juga terkait dengan prevalensi penyakit degeneratif.

Menurut peraih gelar doktor dari Ilmu Kedokteran UNHAS ini, peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya hidup (aktifitas rendah, pola makan tinggi energi dan rendah serat).Pola makan sebagai penyebab utama obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai aktifitas kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang terpapar dengan kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi zat gizi sebagaimana yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant sangat miskin serat. Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan, mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 di Indonesia menunjukkan berdasarkan kriteria WHO prevalensi masyarakat yang kurang mengonsumsi buah sayur sebesar (93,6%) dan konsumsi buah sayur proporsinya semakin rendah dengan semakin rendahnya sosial ekonomi. Hasil Analisis lanjut data Riskesdas tahun2007 di Indonesia menemukanbahwa prevalensi obes sentral semakin tinggi dengan meningkatnya SES.Karenahal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat keadaan yang terjadi di Indonesia. Apakahkejadian SM tinggi pada sosek rendah ataukah sosek tinggi.bagaimana asosiasi faktor risiko gaya hidup dan SM pada status ekonomi rendah dantinggi di daerah perkotaan di Indonesia dan bagaimanapatomekanisme SM pada status ekonomi rendah.

Analisis data RISKESDAS ini dilakukan pada 18.803 sampel kelompok biomedis perkotaan di 270 kabupaten/kota terpilih. Sebagian besar responden adalah perempuan (53,7%) dengan umur rata- rata responden 38,7±15,63 tahun. Berdasarkan tingkat ekonomi, proporsi perempuan lebih banyak pada status ekonomi rendah (54,0%) dengan tingkat pendidikan tamat SD memiliki proporsi yang tinggi (30,1%). Padastatus ekonomi tinggi (q5) umumnya memiliki pendidikan tamat SMA (37,6%). Berdasarkan pekerjaan, umumnya mereka yang memiliki status ekonomi rendah q1 berprofesi sebagai petani/nelayan/buruh (26,1%), sedangkan pada status ekonomi tinggi umumnya sebagai pegawai (26,4%). Prevalensi obesitas sentral mencapai 41,7% lebih tinggi dibandingkan angka nasional (26,5%) terjadi di Sulawesi Utara diikuti dengan prevalensi pre hipertensi yang juga tinggi(67,9% lebih tinggi dibanding prevalensi rata-rata nasional 54,1%). Untuk TGT, prevalensi tertinggi terjadi di Sulawesi Barat yaitu 28,8% lebih tinggi dibanding angka nasional (berdasarkan pengukuran glukosa darah) yang mencapai 14,9%. Di Maluku prevalensi TGT umumnya tidak ada (0%).

Di negara maju faktor risiko kejadian Sindroma Metabolik cenderung meningkat pada status sosial ekonomi rendah, sebaliknya di negara berkembang justru meningkat pada status sosial ekonomi tinggi. Faktor lingkungan dan gaya hidup mempunyai andil yang besar terhadap status kesehatan. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan gaya hidup (pola makan, rokok, alkohol, aktivitas) dan mental emosional dengan Sindroma Metabolik pada status ekonomi rendah dan tinggi. Pada umumnya perempuan berstatus ekonomi tinggi dengan tingkat pendidikan rendah dan tidak bekerja memiliki risiko Sindroma Metabolik yang lebih tinggi. Status ekonomi rendah kurang aktifitas fisik dan sering mengonsumsi makanan minuman manis berisiko atas kejadian Sindroma Metabolik, sedangkan pada status ekonomi tinggi, sering mengonsumsi bumbu penyedap bukan merupakan faktor risiko utama terjadinya Sindroma Metabolik. Berdasarkan asosiasi langsung dan tidak langsung faktor risiko gaya hidup dan Sindroma Metabolik diperoleh; status ekonomi rendah dan tinggi serta tingkat pendidikan rendah dan tinggi semakin lama merokok semakin tinggi kejadian sindroma metabolik pada laki-laki. Laki-laki dengan tingkat pendidikan rendah dan status ekonomi rendah, kurangnya aktifitas fisik akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik. Pada laki-laki dengan tingkat pendidikan rendah dan status ekonomi tinggi, seringnya mengonsumsi makanan berlemak akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik. Pada status ekonomi rendah peningkatan gangguan kesehatan mental emosional akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik, sebaliknya pada status ekonomi tinggi penurunan gangguan kesehatan mental emosional akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik. Buku ini menyimpulkan bahwa berdasarkan asosiasi langsung dan tidak langsung faktor risiko gaya hidup dan Sindroma Metabolik diperoleh bahwa : Pertama, status ekonomi rendah dan tinggi serta tingkat pendidikan rendah dan tinggi semakin lama merokok semakin tinggi kejadian Sindroma Metabolik pada laki-laki. Kedua, laki-laki dengan tingkat pendidikan rendah dan status ekonomi rendah, kurangnya aktifitas fisik akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik. Ketiga, pada laki-laki dengan tingkat pendidikan rendah dan status ekonomi tinggi, seringnya mengonsumsi makanan berlemak akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik. Keempat, pada status ekonomi rendah peningkatan gangguan kesehatan mental emosional akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik, sebaliknya pada status ekonomi tinggi penurunan gangguan kesehatan mental emosional akan meningkatkan kejadian Sindroma Metabolik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline