Lihat ke Halaman Asli

yanti ningrum

freelancer

Pertalite Naik, Fokus Saja pada Solusi

Diperbarui: 6 September 2022   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: economy.okezone.com

Sudah beberapa waktu sebelumnya jika pemerintah menghembuskan wacana untuk menaikan bahan bakar, terutama yang paling disorot adalah pertalite. Dimana bahan bakar ini yang paling murah dan terjangkau oleh masyarakat. Namun ternyata pada akhirnya harus mengalami kenaikan harga.

Lucunya karena pamerintah masih tarik ulur, soal kebijakan kenaikan harga pertalite tersebut, masyarakat yang sejak dahulu, mempunyai tradisi mengisi BBM, dimalam sebelum harga naik, akhirnya mencoba meramal, kira-kira kapan harga pertalite naik. Sehingga banyak yang mengira, harga pertalite akan naik pada tanggal 1 September kemarin. Hal itu membuat  masyarakat mulai berbondong-bondong membeli pertalite di akhir bulan, di tanggal 31 Agustus itu.

Saking panjangnya antrian, hingga perlu ada penjagaan dari kepolisian. Namun ternyata, besoknya, tanggal 1 September itu, belum ada kenaikan harga di pertalite. Dan baru setelah beberapa hari menanti dan banyak yang mengira jika harga BBM tidak jadi naik, pada tanggal 3 September baru terjadi kenaikan harga pada Pertalite, Pertamax dan Solar.

Sejak kenaikannya, banyak dari masyarakat yang mengeluhkan dan bahkan ada yang berencana demo untuk menuntut penurunan harga BBM, pertalite pada khususnya, karena dirasa apabila harga pertalite naik, maka akan membuat harga barang dan lainnya juga ikut naik.

Karena pembahasan dampak kenaikan pertalite sudah banyak yang telah membahasnya, maka kita akan beralih pada sudut pandang yang lain, dimana cara mengatasi dari kenaikan harga dan apakah memotong subsidi itu perlu dilakukan oleh pemerintah.

Berkaca pada sejarah yang pernah terjadi di negara Venezuela. Dimana negara ini memiliki cadangan minyak terbesar didunia, tapi kekayaannya itu menjadi awal dari kehancuran. Krisis ekonomi yang melanda Venezuela mulai dirasakan sejak kematian mantan presiden Hugo Chavez pada tahun 2013. Dimana sebelumnya presiden Hugo semasa berkuasanya di tahun 1999, menerapkan kebijakan untuk menyetarakan ekonomi rakyat. Sehingga sebagian besar keuntungan negara dari penjualan minyak dialokasikan untuk program sosial gratis bagi masyarakat, termasuk subsidi dan usaha-usaha mengentaskan kemiskinan. (kaltim.tribunnews.com -- 24/8/2018).

Banyaknya subsidi yang diberikan oleh pemerintah membuat masyarakat bergantung pada subsidi pemerintah. Karena merasa nyaman dan apa-apa murah, maka hidup masyarakat Venezuela kebanyakan berfoya-foya.  Sehingga pemerintah dan masyakarat mulai terbuai dengan kenyamanan dan tidak siap apabila keadaan berubah.

Terjadilah pada tahun 2016 dimana harga minyak dunia turun drastis dan penghasilan Venezuela terpangkas habis. Disaat kas pemerintah kosong,  program untuk rakyat masih tetap dijalankan, sehingga makin membuat defisit kas negara.

Berkaca dari apa yang terjadi di Venezuela, kita juga tidak boleh egois dengan selalu ingin mendapatkan murah tanpa tahu apa yang sedang dibayar dibelakangnya. Saatnya mulai dewasa dan memikirkan cara untuk mengatasi, apabila terjadi pengurangan subsidi seperti saat ini.

Awalnya mungkin tidak enak untuk menyesuaikan gaya hidup dengan harga barang dan kebutuhan yang naik. Namun ada baiknya kita mulai belajar berhemat dari sejak sekarang, daripada nanti seperti Venezuela, yang  dipaksa untuk berhemat dengan kerasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline