Polemik merek Mendoan terdaftar dengan IDM 237714 milik Fudji Wong tiba-tiba menjadi isu nasional. Banyak pihak yang menggugat dan mengkritik kehadiran merek tersebut. Bupati Banyumas, Achmad Husein, pada tanggal 6 November lalu tak tanggung-tanggung mengultimatum Wong agar dalam waktu satu pekan segera menghapus mereknya. Ia bahkan menggerakkan massa Banyumas untuk menggelar aksi membuat mendoan dalam tajuk #saveMendoan# demi mengembalikan privatisasi kata mendoan kepada publik.
Selain Husein, wakil ketua DPR, Taufik Kurniawan, mengakatan bahwa seharusnya Ditjen HKI harus berhati-hati dalam mendaftarkan merek yang berhubungan dengan kearifan lokal. Di pihak lain, Ditjen HKI bersikukuh kalau pendaftaran merek Mendoan sah secara hukum. Ditjen HKI siap memberikan opini hukum jika ada pihak yang mencari keadilan lewat jalur pengadilan.
Banyak netizen yang mengomentari masalah yang pada buntutnya menjadi isu nasional ini; @adigantengbanget mengkritik pak Bupati tulisnya Bupati gak ngerti aturaannn nih… hadeh kok bisa jadi bupati ya? @donoindrokasino2 menyalahi Ditjen HKI tulisnya YANG SALAH DITJEN HKI, KOK BISA DIDAFTARIN PADAHAL ITU KATA UMUM…. Sementara @roes_kalit menulis … hapus jenis barang yang berhubungan dengan tempe mendoan aja pak Bupati, bukan merek Mendoannya (detik.com). Bola panas ini memang pada akhirnya bergulir sampai kepada Fudji Wong. Pemilik merek terdaftar tersebut berjanji akan menghapus mereknya dan menghibahkannya kepada pemerintah kabupaten Banyumas.
Apa sih merek itu? Kok disamain dengan Paten?
Bola panas ini sebetulnya sudah disemburi air pemadam lewat janji Wong, tetapi untuk kalangan intelektual polemik ini menjadi bahan pergumulan sekaligus menjadi secercah harapan agar masyarakat Indonesia lebih concern dengan Kekayaan Intelektual. Hal ini karena kalo dilihat sepintas, masyarakat lebih mengenal istilah paten dari pada merek. Indikatornya jelas, banyak orang masih gampang menyebut ingin patenkan tarian daerah, nama makanan khas daerah, lagu daerah, dsb. Ini tentu penggunaan istilah yang salah kaprah. Merek pada dasarnya menunjukkan nama dari suatu barang/jasa untuk membedakkannya dengan jenis barang/jasa lain, sementara paten berhubungan dengan penemuan (invensi baru) teknologi. Jadi, sangat tidak mungkin mematenkan lagu daerah, tarian daerah, makanan daerah dan sejenisnya.
Istilah Merek yang saat ini diakui oleh Indonesia diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001. Merek diartikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Adapun model-model merek yang dikenal dalam rezim HKI adalah merek umum (generik) yang memakai kata-kata yang umum untuk barang/jasanya seperti merek Apple (bukan untuk buah apel tetapi untuk barang elektronik),
Gudang Garam (bukan untuk garam tetapi untuk industri rokok), Djarum Super, dll; merek deskriptif yang memakai kata-kata yang mendeskripsikan barang/jasanya seperti merek Mi Sedap (mie yang rasanya sedap), Supermi, Gulaku (gula milikku), dsb; dan merek unik yang memakai kata/tanda yang sama sekali baru seperti merek Odol (untuk pasta gigi), Merek Baygon (untuk pengusir nyamuk), dsb.
Selanjutnya dalam pasal 5 dinyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan jika mengganggu ketertiban umum, telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang/jasa yang dimohonkan pendaftaraanya. Merek yang mengganggu ketertiban umum adalah merek yang menyinggung perasaan, kesopanan, kesusilaan, atau kesopanan khalayak umum atau masyarakat tertentu. Merek yang telah menjadi umum mengacu pada merek-merek yang sudah dikenal umum sehingga tanda/nama yang dipakai sangat mungkin mewakili barang/jasa tertentu. Sementara itu, bagian terakhir dari pasal ini menyatakan bahwa merek yang tidak dapat didaftarkan jika merek tersebut berkaitan dengan barang yang dimohonkan pendaftarannya, misalnya merek kopi untuk jenis barang kopi, merek Mendoan untuk jenis barang mendoan.
Bagaimana dengan merek Mendoan terdaftar?
Dalam berita resmi merek yang dipublikasi oleh Ditjen HKI, Fudji Wong mengajukan tiga jenis merek, yakni merek Mendoan, Merek Raja Mendoan, dan Merek Ratu Mendoan, ketiga-tiganya didaftar untuk kelas barang 29. Dari ketiganya, hanya merek Ratu Mendoan yang ditolak. Merek Mendoan didaftar dengan IDM 237714 dan berlaku hingga Mei 2018 untuk barang “keripik mendoan”, daging, susu, dan sejenisnya. Merek Raja Mendoan (luput dari perhatian publik, saya akses tanggal 8 Nov 2015, 14.44 WIB) yang terdaftar dengan IDM 337226 berlaku hingga tahun 2018 untuk jenis barang “tempe mendoan” saja.
Kalau ditinjau secara yuridis, merek Raja Mendoan yang didaftar oleh Ditjen HKI telah melanggar ketentuan pasal 5 huruf d UU Merek karena mereknya bersifat deskriptif dan berkaitan dengan jenis barang yang dimohonkan pendaftarannya. Sementara itu, merek Mendoan sendiri memiliki jenis barang yang berbeda dengan mendoan meskipun bersinggungan dengan penggunaan tempe yang bisa saja membuat konsumen keliru (ini domainnya UU Perlindungan Konsumen). Jadi, sebetulnya sah-sah saja ketika mendoan (kata yang generik) dipakai sebagai merek jenis barang tertentu yang tidak berkaitan dengan makanan mendoan.
Gugatan terhadap merek Mendoan: menyinggung perasaan masyarakat
Satu-satunya alasan gugatan yang dapat dipakai adalah “menyinggung perasaan kelompok masyarakat tertentu”. Sayangnya, penjelasan pasal 5 huruf (a) ini tidak diberikan pemahaman dan klarifikasi yang lebih jauh mengenai apa-apa saja yang berkaitan dengan menyinggung perasaan suatu kelompok masyarakat. Dalam praktiknya, penjelasan pasal 5 huruf (a) ini dipakai untuk melindungi warisan budaya leluhur, simbol-simbol leluhur, ataupun istilah-istilah tradisional yang memiliki arti simbolis tertentu sehingga akan sangat menyinggung perasaan kebudayaan jika digunakan secara bebas, apalagi untuk merek dagang yang bersifat komersial.
Kalau dicermati, aksi masyarakat Banyumas yang melakukan aksi publikasi #saveMendoan# dari privatisasi, sangat dimungkinkan karena merek Mendoan Fudji Wong telah menyinggung perasaan masyarakat. Hal itu dikarenakan kata “mendoan” merupakan kata daerah asli masyarakat Banyumas yakni “mendo” yang berarti setengah matang. Kata ini kemudian menjadi warisan tradisional yang tersemat dalam rupa tempe yang dilapisi tepung dan digoreng setengah matang.
Kata mendoan dengan kulinernya itu menjadi milik masyarakat Banyumas yang telah ada sejak dahulu, suatu warisan yang khas untuk makanan mendoan. Dengan kata lain, kehadiran merek mendoan dapat mengakibatkan citra atau ciri khas mendoan menjadi terpolarisasi. Polarisasi makna ini yang tidak cocok diberlakukan pada suatu warisan budaya atau kearifan lokal. Polarisasi makna inilah yang membuat masyarakt Banyumas merasa tersinggung. Peristiwa polarisasi akan menjadi sangat menyinggung perasaan jika pada akhirnya merek tersebut berujung negatif.
Jalan Keluar di tengah UU Merek yang “lemah”
Menghadapi polemik kekayaan intelektual seperti ini, janji Fudji Wong untuk menghapus pendaftaran merek Mendoan adalah salah satu jalan yang bijak daripada harus diselesaikan secara hukum. Akan tetapi, persoalan ini membuka tabir gelap dalam pendaftaran merek di Ditjen HKI. Ada ketakutan sekaligus kebimbangan soal peran aparat pemerintahan dalam menafsir UU maupun mengeksekusi UU.