Berbagai gebrakan KPK, menangkap, menyidangkan dan memenjarakan begitu banyak "orang-orang besar" telah membuncahkan pesimisme sekaligus optimisme pada Republik ini. Kita pesimis demi melihat dan menyaksikan betapa perilaku lancung dan tingkah serakah telah menjadi budaya dan gaya hidup sebagian penyelenggara negara pada semua lini. Untungnya sejauh ini, terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, performance KPK telah menyemai optimisme di benak publik bahwa suatu saat nanti Republik Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tapi kapankah datangnya hari "kemerdekaan" itu ?! Penyelenggara pemerintahan yang terindikasi korupsi berjumlah sangat besar dan tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sementara jumlah penyidik KPK saat ini hanya sekitar 100 orang (detiknews, 22/06/2017). Padahal menurut Agus Raharjo, ketua KPK, agar bisa bekerja optimal, komisi anti rasuah ini perlu memiliki penyidik sekitar 1000 orang. Disamping Problema internal tersebut, KPK juga harus menghadapi tantangan eksternal yang sangat berat, pansus angket KPK DPR RI yang semakin "bernafsu" untuk membunuh eksistensi atau paling tidak mengebiri institusi anak kandung reformasi ini.
Ditengan kegalauan KPK yang diamini mayoritas publik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara RI, Jenderal Polisi Tito Karnavian mengungkapkan rencananya untuk membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi. Tito terus berusaha meyakinkan publik bahwa tujuan pembentukan Detasemen yang membutuhkan anggaran sampai 2,6 T rupiah itu sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyaingi KPK, seperti kecurigaan beberapa pihak, melainkan diharapkan dapat membantu KPK yang memang sedang "kewalahan" menghadapi hambatan internal maupun eksternal.
Pihak pihak yang berkeratan itu jelas memiliki argumentasi yang cukup kuat terkait dengan track record Polri yang belum secemerlang KPK dalam menangani perilaku koruptif baik dari internal polri sendiri maupun perilaku koruptif pihak eksternal. Meskipun survey oleh Transparency international Indonesia tahun 2017 ini menempatkan Polri sebagai lembaga terkorup nomor 5 ( lembaga terkorup pertama telah "diambil alih" oleh DPR) namun pada survey survey tahun sebelumnya Polri hampir selalu menduduki peringkat paling atas.
Pada tahun 2004, mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian angkatan 39-A malah ramai-ramai melakukan penelitian untuk tesis mereka dan menyimpulkan bahwa korupsi (internal dan eksternal) di tubuh Polri sudah melembaga dan sistematis. Lebih dari itu hubungan yang selalu panas dingin antara KPK dan Polri akibat peristiwa "cicak dan buaya" (2010) dan kasus Simulator SIM (2012), serta yang terakhir penanganan Polri terhadap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan berdampak pada tidak efektifnya supervisi penyidikan tipikor Polri oleh KPK.
Lebih dari itu dalam konteks pembersihan korupsi, sampai saat ini masih ada pihak pihak yang beranggapan bahwa Polri adalah sapu yang masih kotor. Tidak ada bidang tugas dan jenjang di kepolisian yang benar-benar kalis dari praktek rasuah. Sedikitnya ada empat zona rawan sogok-menyogok di kepolisian. Pertama, "zona pelayanan" yang berlangsung dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya. Zona kedua adalah wilayah kewenangan khususnya dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum.
Praktek korupsi dalam lini ini sangat beragam mulai "prit-jigo" di jalan raya, back up atas praktek illegal (logging, minning, smuggling) hingga suap menyuap saat penyusunan Berita Acara Pemeriksaan. Kemudian yang ketiga adalah korupsi fiskal atau anggaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pos belanja barang kepolisian telah lama menjadi sasaran empuk para pemburu ekonomi rente negeri ini. Selanjutnya yang terakhir adalah korupsi kepolisian di ranah manajemen personalia, misalnya dalam perekrutan, promosi, mutasi, termasuk dalam seleksi mengikuti pendidikan pengembangan (Kastorius Sinaga, 2008).
Hemat saya, penyebab utama dari laku kongkalingkong di empat zona tersebut adalah masih kuatnya akar budaya setor kepada atasan. Disamping menjadi musabab utama maraknya korupsi, "asok bulu bekti glondong pengareng-ngareng" ke atasan merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan sunatullah. Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, begitu juga api yang senantiasa merambat dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat yang suhunya rendah. Terlalu lama berkutat dengan pelanggaran sunatullah membuat Polri belum benar benar berhasil meraup kepercayaan, apatah lagi membangun sinergitas kemitraan dan memberi pelayanan prima kepada masyarakat.
Namun demikian marilah kita sejenak menyimak beberapa realitas empiris berikut ini. Polri pernah dipimpin jenderal Hoegeng yang "kezuhudan" dan "kewara'an"-nya terhadap materi jelas lebih tinggi dari pada para pimpinan KPK . Peletak dasar kiprah KPK adalah pimpinan jilid pertama yang diketuai oleh Taufiqurohman Ruki, seorang purnawirawan jenderal Polisi. Kemudian sebagian besar penyidik KPK yang saat ini malang melintang memburu dan membuat keder para koruptor kakap adalah perwira-perwira kepolisian.
Salah satu hal penting yang diduga sebagai penyebab utama perbedaan unjuk kerja antara penyidik tipikor Polri dan penyidik KPK adalah besaran gaji penyidik KPK yang berlipat-lipat dibanding penyidik Polri. Kapolri menyampaikan bahwa kelak gaji penyidik Densus Tipikor akan setara dengan penyidik KPK dengan jabatan yang setingkat.
Keberhasilan Polri untuk "turun kelas" secara signifikan sebagai lembaga paling korup merupakan salah satu indikasi dari keberhasilan Jenderal Tito untuk "menekan" budaya koruptif dikalangan anggota Polri. Dalam banyak kesempatan memang Kapolri sudah me-warning seluruh pimpinan Polri untuk menekan budaya koruptif, menghindari arogansi kekuasaan, mencegah kekerasan dan menahan diri dari hidup mewah di kesatuan masing masing. Jika gagal memimpin gerakan preventif ini, Kapolri tidak akan segan untuk merampas "tongkat komando" dari tangan para pimpinan kewilayahan itu.