Lihat ke Halaman Asli

yanse arfinando

Lebih berbahagia memberi daripada menerima

Berkaca pada Tokyo Garbage War

Diperbarui: 25 November 2019   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada pertengahan Oktober 2018 media pemberitaan baik cetak maupun elektronik diramaikan dengan berita penghadangan belasan truk sampah DKI Jakarta yang hendak menuju ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. 

Peristiwa serupa pernah terjadi di Jepang pada tahun 1971.  Kala itu warga kota Koto memprotes dan memblokade jalan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo yang menuju TPA di daerah mereka.  

Mengutip data dari Takashi Nakazawa pada Jurnal Local Environment (Vol. 22, 2017) pada waktu itu ada lebih dari 5.000 truk sampah setiap hari melintasi Koto mengangkut lebih dari 9.000 ton sampah. 

Alhasil warga Koto terkena dampaknya: sampah yang tercecer di jalan raya, kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan polusi udara yang disebabkan oleh truk-truk sampah tersebut, juga berkembangnya lalat dan tikus serta bau yang menyengat dari timbunan sampah.   

Akibat protes warga Koto, Gubernur Tokyo saat itu menyatakan Perang Melawan Sampah (Garbage War). Pernyataan perang tersebut menegaskan bahwa permasalahan sampah merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sehari-hari manusia.

Ironinya manusia secara alami, sadar atau tidak, cenderung ingin menyingkirkan sampah dari pandangannya tanpa terlalu peduli kemana perginya. 

Contohnya kebiasaan (buruk) membuang sampah ke sungai. Apakah si pelaku peduli bahwa aliran air akan membawa sampahnya ke hilir dan menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai yang memicu banjir saat hujan datang?  

Atau kelakuan yang lebih beradab seperti buang air besar pada jamban di fasilitas umum. Tahukah kita kemana kotoran itu pergi setelah disiram/di-flush? Asalkan dia sudah lenyap dari pandangan, beres urusan bukan?

 Demikianlah masalah sampah.  Tampaknya saat ini kebanyakan pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia masih menggunakan pendekatan kebersihan dan keindahan kota semata.  Yang penting tidak ada sampah menumpuk dan berceceran di dalam kota. 

 Sampah diangkut ke TPA di luar kota, atau dalam kasus DKI Jakarta diangkut ke luar wilayah administrasi pemerintahannya yaitu ke Bekasi di Provinsi Jawa Barat.  Nanti kalau TPA-nya sudah penuh atau kalau truk sampahnya di hadang barulah kelimpungan.  

Sampah menumpuk di dalam kota karena tidak terangkut hingga meluber ke jalan dan menimbulkan polusi udara dan mata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline