Lihat ke Halaman Asli

Yansean Sianturi

learn to share with others

Menolak Operasi Rahasia Menjegal Gibran

Diperbarui: 8 November 2023   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : pinterpolitik.com

"Semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom,  maka kecil pula tingkat kepastian hukum." Otto, J.M.; Bedner, A.W.; Irianto, S.; Wirastri, T.D.

Beberapa hari lalu publik dikejutkan oleh pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman di media. Politisi Gerindra tersebut menduga adanya operasi rahasia untuk menjegal Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres pada Pilpres 2024. Gerakan senyap ini diduga dilakukan secara terstrukur dan sistematis untuk menggiring persepsi atau opini masyarakat agar menolak Gibran sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Mulai dari isu politik dinasti, mahkamah keluarga, putusan MKMK dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi. Terakhir, adalah rencana uji materi kembali atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). 

Putusan MK yang final and binding, berusaha didelegitimasi dan digiring menjadi keputusan yang sumir. Rencana gerakan rahasia selanjutnya adalah mengajukan kembali uji materi dengan alasan konstitusional yang baru. Adapun dasar pengajuannya adalah pemeriksaan MKMK terhadap putusan MK dan pemeriksaan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi, yaitu Anwar Usman paman dari Gibran. Wajar, bila Habiburokhman mengungkapkan kegelisahannya dan  melontarkan ucapan bahwa ada suatu operasi rahasia untuk menjegal Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres pada pilpres nanti. Jika kegelisahan ini benar dan menjadi kenyataan, maka benar ungkapan bahwa "hukum telah digunakan sebagai alat dalam politik untuk meraih kekuasaan". Caranya adalah menggunakan hukum sebagai "alat" untuk menjegal seseorang menggunakan haknya dicalonkan. Padahal hukum seharusnya otonom dan independen berperan sebagai wasit yang adil dalam suatu negara demokrasi.

Balas-membalas dengan menggunakan celah hukum yang ada, terkesan akan digunakan dan menjadi pertarungan para elit politik. Bila kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mustahil akan melahirkan gugatan atau uji materi berikutnya oleh pihak yang kalah. Situasi yang kurang baik ini, tentunya akan menjadi tontonan seluruh rakyat Indonesia. Apalagi menjelang masa kampanye pemilu 2024, segala hal akan dimanfaatkan oleh para pihak yang berkontestasi untuk menarik simpati para pemilih.

Apakah ini budaya yang ingin dihasilkan dalam alam demokrasi di negara ini? Jika gugat-menggugat terus berlanjut sampai kapan selesainya?

Jika mau jujur, majunya Gibran sebagai cawapres tentunya akan diserahkan kembali kepada rakyat yang akan memilih nanti. Semuanya ditentukan oleh rakyat dan tidak ada jaminan juga bahwa semua rakyat pasti akan memilih Gibran. Namun kecurigaan yang dihembuskan oleh pihak yang takut kalah adalah Presiden Jokowi  sebagai orang tua Gibran akan bertindak tidak netral dan menggunakan perangkat yang dibawah kendalinya untuk mengarahkan pilihan. Kondisi ini menjadi tema yang empuk dan enak untuk digoreng sana-sini.

Mohon maaf, kampanye politik yang seharusnya mendahulukan program dan gagasan lebih banyak diisi oleh kampanye hitam. Rakyat lebih dominan memperoleh asupan berita-berita mengenai konflik atas aturan dan putusan. Hak rakyat untuk mengetahui program termasuk rencana pembangunan yang akan dilakukan para kandidat yang akan berkontestasi bila terpilih menjadi minim edukasinya.

Kekisruhan ini sebenarnya bermula dari aturan mengenai pembatasan usia yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Kontroversi produk Undang-undang yang dilahirkan oleh lembaga legislatif (DPR), kemudian digugat oleh para pihak ke MK. Namun, cerita dibalik dengan menggiring opini bahwa keputusan MK yang kontroversi dan menjadi polemik hingga akhir ini. Kepastian hukum yang menjadi harapan dan dambaan perlu diwujudkan segera oleh semua pihak sehingga dapat memuaskan rasa adil di masyarakat. 

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga terakhir pengujian  Undang-Undang terhadap Konstitusi perlu bersikap tegas. Segala upaya hukum termasuk uji materi kembali terhadap putusan terkait usia capres dan cawapres, bila hasilnya dapat diterima kiranya keputusan diterapkan dan berlaku untuk pilpres tahun 2029. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga wibawa dan marwah lembaga termasuk putusannya yang  bersifat akhir dan mengikat serta menjamin asas kepastian hukum itu sendiri.

 Akhir kata, sikap untuk menerima putusan tanpa curiga juga perlu dibumikan dan menjadi budaya sehingga pemilu yang riang gembira bukan sekedar slogan belaka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline