Lihat ke Halaman Asli

Yansean Sianturi

learn to share with others

Resiko Kekosongan Obat dan Alat Kesehatan Sebagai Dampak Defisit Dana BPJS Kesehatan

Diperbarui: 14 Maret 2018   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini berita mengenai "defisit 9 trilyun dana BPJS kesehatan" menghiasi media massa nasional bahkan menimbulkan urun rembuk di sana-sini mulai dari : Pemerintah, Civitas Akademika, Praktisi, Masyarakat hingga anggota Legislatif. Ramainya pemberitaan media nasional mengenai defisit tersebut menjadi panggung tersendiri yang mengasyikkan bagi berbagai pihak untuk saling berdiskusi bahkan hingga komentar netizen di media online. Topik pembahasan yang berkembang pada perdebatan saat ini, ada yang menarik benang kusutnya menjadi beberapa penyebab antara lain:

  • Pasien yang sakit dan berobat 80 persen kuratif hingga usulan program berikutnya agar masyarakat perlu didorong pola hidup sehat (preventif),
  • Iuran anggota yang kecil dan tidak sebanding dengan biaya pengobatan sehingga perlu dinaikan iurannya,
  • Ada yang berpendapat karena pemda (dinkes) kurang kontrol terhadap layanan rumah sakit di daerah dan menyerahkan semuanya ke pusat,
  • Inefisiensi biaya operasional BPJS Kesehatan hingga tunjangan pegawainya yang kebesaran,
  • Usul cukai rokok untuk tambal sulam defisit dan lain-lainnya.

            Terlepas dari diskusi dan perdebatan di atas, sebagai informasi bahwa konsumen dari BPJS yaitu anggota masyarakat yang telah menjadi peserta per maret th 2017 kurang lebih 175 juta jiwa (sekitar 70% penduduk Indonesia). sumber data:  http://www.cnn.id//201954//Baru 70 Persen Penduduk Jadi Peserta BPJS Kesehatan (22/03/2017). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan kesadaran masyarakat tentang pentingnya jaminan kesehatan, sehingga bisa mengakibatkan setiap tahun defisit dana BPJS terus membengkak . Sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan BPJS bertumpu pada fasilitas kesehatan (Faskes) yang ada, antara lain : Puskesmas, Klinik, Praktik Dokter/Dokter Gigi hingga Rumah Sakit. Dalam memberikan layanan kepada pesertanya, BPJS Kesehatan tidak bekerja sendiri tetapi dibantu juga oleh berbagai pihak termasuk perusahaan swasta.  Ketersediaan obat dan alat-alat kesehatan yang cukup dan memadai di Faskes-Faskes menjadi penentu bagi paramedis untuk memberikan layanan yang optimal sehingga konsumen yakni pesertanya bisa terpuaskan. Ketersediaan stok obat dan alat kesehatan sangatlah penting dan mutlak, terutama pada Faskes-Faskes tersebut, sedikit saja obat kosong maka bisa berakibat fatal.

Kesehatan merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat sehingga pengelolaan BPJS secara efiesien dan efektif mutlak diperlukan. Perusahaan farmasi dan alat kesehatan sebagai mitra BPJS membantu menyediakan obat dan alat kesehatan dengan tujuan agar layanan BPJS tetap prima. Perusahaan farmasi dan alat kesehatan tersebut terus berusaha dan telah mendukung bahkan membantu, supaya kebutuhan vital masyarakat tetap terpenuhi. Sebaliknya, Defisit BPJS mengakibatkan beberapa Rumah Sakit milik Pemerintah menunda kewajiban pembayaran tagihan ke distributor farmasi dan alat kesehatan dengan alasan menunggu dana cair dari BPJS Kesehatan. Bahkan beberapa Rumah Sakit di daerah ada yang sudah menunggak pembayaran lebih dari 60 hari, sehingga beberapa distributor dan perusahaan farmasi mengeluh dan mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai kegiatan operasionalnya serta membeli bahan baku. Sebagai bentuk "komitmen bisnis"  kepada mitranya, beberapa perusahaan swasta ada yang terpaksa merogoh kocek tabungan atau meminjam dana ke Bank untuk membiayai kelangsungan hidup perusahaannya.

Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, sampai kapan perusahaan swasta tersebut dapat terus bertahan dan mampu mengatasi kesulitan keuangannya? Jika pembayaran dari Rumah Sakit masih belum diterima (lunas). Tidak berhenti sampai disitu, efek dari beberapa Rumah Sakit yang belum membayar kewajibannya telah mengakibatkan beberapa distributor ada yang sudah memberikan penalti dan tidak mensuplai lagi barang pesanan rumah sakit sambil menunggu tagihan selesai dibayar. Jika hal seperti ini dibiarkan berlarut terus menerus, maka dalam waktu dekat kemungkinan akan berdampak pada kekosongan obat dan alat kesehatan di beberapa Faskes sehingga yang menjadi korban berikutnya adalah  pasien yang berobat itu sendiri. Lalu, sampai kapan benang kusut ini akan selesai? Atau kita akan tetap terus berdiskusi, sementara pengobatan kepada masyarakat perlu dilaksanakan setiap hari? Apakah kita rela dan tega jika pasien dan keluarganya mesti mencari serta membeli obat di luar faskes dengan biaya sendiri, padahal obat semestinya sudah termasuk dalam tarif yang dijamin oleh BPJS Kesehatan? 

            Beberapa hasil diskusi yang telah  dilakukan oleh berbagai pihak untuk perbaikan BPJS Kesehatan  melahirkan beberapa wacana seperti:

  • Perlunya perbaikan tata kelola dari lembaga itu sendiri termasuk juga evaluasi kembali hasil audit laporan pertanggung jawaban keuangan tahunannya.
  • Pemberdayaan Dewan Pengawasan dan Lembaga Independen sebagai kontrol sistem dan cara kerja dari BPJS Kesehatan.
  • Pemberdayaan paramedis hingga peningkatan efektivitasnya untuk memberikan terapi optimal pada pengobatan di Faskes tingkat pertama
  • Perampingan struktur dan personil BPJS Kesehatan
  • Serta beberapa alternatif solusi lainnya

Diskusi secara terus menerus mengenai masalah ini sangatlah baik dan dianjurkan, untuk menemukan titik permasalahan dan solusinya. Namun, kelangsungan hidup perusahaan swasta sebagai penyedia produk dan jasa bagi Rumah Sakit dan BPJS serta layanan kesehatan bagi hajat hidup orang banyak juga perlu dipikirkan solusinya. Menyelamatkan defisit 9 trilyun berbanding lurus dengan menyelamatkan ketersediaan obat dan alat kesehatan di sarana dan fasilitas kesehatan yang akan dirasakan langsung manfaatnya oleh si pasien peserta BPJS Kesehatan . Melihat situasi darurat BPJS Kesehatan, selayaknya para pemangku kepentingan mengambil keputusan  yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan masyarakat peserta BPJS Kesehatan yang membutuhkan pengobatan.

Salam Sehat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline