[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/kompas.com"][/caption]
Sebenarnya tulisan ini bukan muncul dari pikiran seorang ahli atau hasil analisis dari sebuah peristiwa bahkan pengalaman dari orang yang sudah terbiasa dalam bidangnya. Namun, tulisan ini muncul dari pengalaman saya pribadi. Saya bukan seorang ahli tentang per-asi-an. Saya juga bukan seorang lihai menganalisis dari sebuah peristiwa dan pengalaman. Saya juga orang yang berlebih pengalaman. Saya hanya seorang suami yang baru saja dikaruniai seorang putri di mana saat tulisan ini ditulis, putri saya berusia 15 minggu. Dan inilah pengalaman baru saya.
Saya adalah seorang suami dari seorang istri yang kebetulan bekerja di sebuah perusahaan milik negara. Sedangkan saya adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta yang cukup sederhana di sebuah kota yang sederhana pula. Bisa dibayangkan perbedaan kasta penghasilan antara saya dan istri, tapi ini tidak akan saya bahas di sini tetapi akan saya bahas di kemudian hari. Karena tuntutan pekerjaan saya dan istri, maka sejak pacaran kami sudah terpisah oleh jarak, bahkan hingga menikah dan dikaruniai seorang putri yang lucu.
Sejak putri pertama kami lahir pada bulan februari 2015 yang lalu, istri saya sudah bertekad ingin memberikan ASI eksklusif terhadap putri kami. Hari-hari pertama hal itu bukanlah suatu yang patut dipermasalhkan, namun menjadi masalah ketika hendak mendekati hari ke 28 karena masa cuti istri sudah habis. Kebingungan muncul ketika program asi eksklusif ingin terus berjalan sedangkan kenyataan istri musti bekerja di luar kota.
Kebingungan itu akhirnya membawa kami, saya dan istri, untuk berselancar menggali informasi di internet. Akhirnya ada kelegaan setelah kami menemukan banyak pembahasan tentang bagaimana menyimpan asi hasil perahan dan memperlakukannya sebelum diberikan kepada si buah hati. Puji Tuhan, niat istri untuk meneruskan asi eksklusif didukung produksi asi istri yang cukup baik dan lancar. Tentunya ini menjadi sesuatu yang kami syukuri.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya putri kami tinggal dengan saya di rumah. Hal ini mengingat kondisi istri yang hanya indekos sehingga kenyamanan bagi putri kami adalah prioritas utama. Hal ini membawa konsekuensi bahwa saya harus siap menyediakan kebutuhan asi bagi putri kami dan saya menyanggupinya. Inilah pengalaman saya yang pertama untuk merawat anak. Lucunya, hal ini pernah terlintas dalam bayangan saya sekian tahun yang lalu ketika masih pacaran dulu.
Akhirnya stok asi perah (ASIP) tersedia dalam botol-botol kaca dan disimpan dalam lemari pendingin. Setiap hari, sebelum berangkat kerja, saya siapkan ASIP dengan perhitungan akan mencukupi selama saya bekerja.
Repot? Ya, awalnya semua serba repot dan melelahkan. Bagaimana tidak, setiap pagi saya musti bangun lebih awal dari biasanya, menyiapkan beberapa botol untuk dicairkan (karena kondisi dibekukan). Kemudian menuang beberapa kedalam botol dot yang siap diminum oleh putri kami. Namun, rasa lelah itu musnah ketika melihat perkembangan si buah hati yang semakin membaik dan sehat. Senyum cerianya menjadi sebuah penyejuk.
Kini, sudah hampir satu bulan saya melakoni sebagai bapak asi. Tentu ini pengalaman yang masih cukup dangkal dan saya yakin masih banyak pengalaman bapak-bapak lain yang lebih berpengalaman dari saya dalam melayani si buah hati.
Satu hal sebelum saya akhiri tulisan ini. Dari semua itu saya semakin menyadari bahwa istri saya dan ibu-ibu yang lain di dunia ini adalah wanita-wanita yang luar biasa. Melalui tulisan ini izinkanlah saya menyampaikan rasa hormat saya kepada seluruh ibu di dunia yang dengan sabar memberi asi buah hati mereka. Dan saya semakin malu sebagai laki-laki yang terkadang “sok” kuat dan kurang menghargai kaum hawa. Salam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H