Lihat ke Halaman Asli

Petualangan Ke Kota Cahaya #1. Hilangnya Putri Kadea

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

#1. Hilangnya Putri Kadea

Kadea, putri tunggal raja Negeri Wisbek hilang. Konon kabarnya, dia diculik penyihir jahat dari Negeri Kanginan. Tak seorang pun di negeri itu yang tahu di mana negeri Kanginan berada. Hanya ada satu petunjuk, yakni mereka harus menemukan sebuah patung putih di Kota Cahaya. Patung itu akan menunjukkan di mana Negeri Kanginan Berada.

Sayangnya, meskipun sangat menyayangi Sang Putri, hampir semua rakyat Negeri Wisbek tak ada yang mengajukan diri untuk menyelamatkan Sang Putri. Mereka teramat takut untuk menghadapi perjalanan panjang yang penuh bahaya menuju Kota Cahaya. Harapan kembalinya Sang Putri semakin mustahil sebelum datang seorang lelaki ranta yang bersedia membawa kembali Sang Putri ke istana.

“Paduka Yang Mulia, izinkanlah hamba mencari Sang Putri,” sembah lelaki ranta itu.

“Siapa namamu wahai Aki?” tanya baginda raja.

“Videl Demistis, Paduka!”

Nama yang aneh, pikir baginda. “Begini Videl Demistis, perjalanan menuju Kota Cahaya sangatlah berbahaya. Kau tahu? Seratus prajuritku yang kukirim sebulan lalu belum kembali hingga kini. Dari telik sandiku, aku dengar mereka tersesat di kota aneh itu. Bagaimana kau akan bisa menemukan patung itu sementara seratus prajuritku saja tak sanggup menemukannya?”

“Baginda, meskipun saya sudah tua, saya masih sanggup menempuh perjalanan menuju Kota Cahaya. Mohon paduka tidak melihat apa yang paduka lihat saat ini,” tekad lelaki renta itu.

Melihat tekad kuat Videl Demistis, akhirnya Sang Baginda Raja merestuinua mencari Sang Putri. Tak terbersit di benaknya untuk menanyakan alasan Si Aki itu berani menempuh 1001 rintangan untuk menemukan putrinya. Yang dia tahu, semua warga Negeri Wisbek sangat mencintai putrinya dan Videl Demistis adalah warga Negeri Wisbek.

Sayangnya, Baginda lupa menayakan Parol (desa di Negeri Wisbek) Si Aki sehingga dia bisa mengirim pengawalnya untuk memberi kabar pada keluarganya seandainya sesuatu terjadi terhadap Videl Demistis.

Akhirnya, pergilah Videl Demistis menuju Kota Cahaya. Bersamanya turut Bazuki, anjingnya yang takut akan gelap dan gaft (ransel) penuh makanan bekal dari raja. Tak lupa dibawanya sebuah morf, sebuah papan kayu berukuran setengah hasta dan memiliki 4 roda kecil di bagian bawah. Morf adalah kendaraan yang bisa diandalkan saat kau dikejar babi hutan, tapi awas jangan sampai kau melindas anak trenggiling karena kau akan terjungkal. Parahnya lagi, ku hars siap menghadapi duri-duri sang induk yang tajamnya minta ampun.

Malam pun datanglah. Tanpa malu-malu, rembulan memperlihatkan seluruh lingkarannya. Purnama. Seekor anjing mendengking lemah. Di dekatnya, seorang anak laki-laki tengah berusaha mendekatinya.

“Baz…, jangan takut ini aku,” ujar anak laki-laki itu sambil mengelus-elus anjingnya yang penakut. Setelah mengendus bau anak itu, Baz pun tenanglah.

***

Sementara itu, di sebuah avre (rumah pohon) di kaki bukit Brem yang jauh dari Negeri Wisbek maupun dari Kota Cahaya, seorang wanita sedang ‘berdiskusi” dengan kedua anak kembarnya. Ya, ibu itu tengah mempertimbangkan hukuman yang pantas atas kenakalan si kembar.

“Tampaknya kalian tidak bisa kalau diam. Harus ada cukup banyak kegiatan untuk menyalurkan kreativitas kalian!,” ujar Bua Nai ketus.

“Yus, mulai hari ini hingga seminggu ke depan kamu harus membersihkan kandang ternak, menggembala Doff (nama sapi), menyiangi rumput, menyiram dan memupuk kebun sayur. Kamu bisa sekalian mengambil pupuk kandangnya di kandang ternak dan juga mengambil cucian di rumah keluarga Jangkoso setiap 2 hari sekali!”

“Dan juga mengantarkannya kan, Bu?” imbuh Yan sambil cengar-cengir.

“Ya,” jawab ibunya. Yus yang tidak terima dengan hukuman itu langsung protes.

“Interupsi!”, serunya.

“Interupsi ditolak, titik!” tukas ibunya.

“Dan kau Yan, jangan kira rasa bersalahmu itu akan melepaskanmu dari hukuman!” Yan pun mencelos.

“Hari ini kau akan menggantikan tugas ibu membersihkan rumah, mencuci baju, piring, dan gelas. Oya, mulai besok pagi kamu juga harus belanja di pasar. Hukuman berlaku mulai sekarang, titik!” kata ibu menyudahi pembicaraan.

“Tapi,Bu, bukankah hanya anak perempuan yang pergi ke pasar? Aku kan anak laki-laki!”, protes Yan.

“Ya, tapi itu dulu. Sekarang, laki-laki atau perempuan sama saja!”, ujar ibunya seraya berlalu menuju dapur.

Bagi Yan dan Yus, pekerjaan rumah sudah biasa mereka lakukan, terlebih saat ayah mereka tak pernah kembali dari Kota Cahaya, mereka harus membantu ibu mereka mencuci pakaian para tetangga, meskipun mereka lebih sering mengacaukannya. Namun, belanja di pasar adalah hal yang tabu bagi mereka. Pasar bagi mereka adalah ladang para perempuan bergosip dan bergosip. Bahkan, mereka sering berdebat apa yang digosipkan ibu mereka saat dia ke pasar. Pokoknya, urusan belanja adalah urusan perempuan, begitu prinsip mereka.

Oleh karena itulah, hukuman yang mereka terima kali ini sungguh tak adil, terutama bagi Yan. Menyesallah mereka karena telah menerbangkan burung kesayangan Pak Minkar tetangga mereka yang kaya raya sehingga ibu mereka harus menggantinya senilai uang saku mereka sebulan? Tidak. Bagi mereka, hidup itu seperti air, mengalir mengikuti aliran. Pun halnya dengan hukuman yang memang pantas mereka terima harus mereka lalui. “Itulah hidup, Sobat” demikian moto favorit mereka. Dan di sinilah petualangan mereka akan dimualai.

***

“Pencuri! Pencuri! Anak tengik itu mencuri daganganku!”, teriak seorang penjual arloji seraya menyibak kerumunan pasar, berusaha mengejar si pencuri.

“Tangkap pencuri cilikitu!”, seru mereka.

Pasar kecil itu hebohlah dengan pengearan terhadap pencuri arloji. Dua puluh menit berlalu, pencuri itu belum juga tertangkap. Memang, si pencuri bukan tandingan para pengejarnya dal hal melarikan diri. Dia mengenal seluruh jalan dan gang-gang sempit di parol Klori. Selain itu, tak ada anak di parol itu yang bisa mengalahkan kecepatan larinya, kecuali tentu saja dua sahabat kembarnya, Yan dan Yus.

Kemarin, mereka beradu cepat menuju pohon Sequoia tua di ujung jembatan. Dari pohon besar itu, mereka berlomba memanjatnya untuk mengintip di manakah Pak Minkar, yang rumahnya berseberangan dengan sungau tak jauh dari jembatan, meletakkan sangkar burung elang kesayanganya. Dan itulah tantangan terbesar mereka: menemukan sangkar itu dan membebaskan burung di dalamnya. Yus yang berkaki lebar memenangkan perlombaan itu.

Kembali ke pasar, para pengejar masih mengejar si pencuri. Mereka kebingungan mencari jejak buruan di gang-gang tikus itu.

“Aria!”, seru Yan dengan tangan sekeranjang penuh belanjaan di tangan kanannya.

“Sssh…!” balas Aria, si pencuri itu sambil menarik Yan ke balik semak.

“Ad…!”, tutntut Yan kebingungan.

“Sssh… diam!”, bisik Aria sambil membungkam mulut Yan. Di depan mereka, lewatlah para pengejar, mengejar buruan mereka yang tak kan pernah mereka temukan.

“Kamu pasti mencuri lagi!” tuduh Yan setelah para pengejar itu jauh dari jangkauan mereka.

“Kalau ya memang kenapa?” tantang Aria sambil mengamati arloji curiannya.

“Tidak apa-apa. Aku hanya heran kenapa kau tak mencuri avre sekalian!”

“Heh maksudmu biar langsug ketahuan gitu?”

“Tak salah lagi,” jawab Yan terkikik.

“Aku akan mencuri kembali semua arloji yang dulu pernah dicuri dari keluargaku.”

“Bukankah katamu kakakmulah yang menjual arloji-arloji itu?”

“Dia mencurinya dari kakekku dan menjualnya agar istrinya bisa membeli perhiasan setiap hari,” jawab Aria sinis.

“Maaf ya, kalau kau tak keberatan aku bilang kalian memang keluarga pencuri,” ujar Yan tanpa dosa.

“Sama sekali tidak!”

“Hei, itu pencurinya!” teriakan orang-orang menyadarkan mereka kalau bahaya belum lewat.

“Ayo kita berlomba!” tntang Aria sambil memasukkan arlojinya di saku jaket kumalnya.

“Siapa takut!” Dan mereka pun berlarilah menuju ujung jembatan, 2 pyo (1 pyo kira-kira 750 meter) jauhnya dari pasar.

Malang bagi Yan, keranjang berikut semua barang pesanan ibunya tertinggal di balik semak itu.

***

(Bersambung di edisi #2. Perjanjian Di Puncak Purnama)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline