Lihat ke Halaman Asli

The Story of Jakarta Busway

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Cahaya memarkir mobilnya di halaman kos. Bukan mobil mewah, namun nyaman dikendarai. Tapi ternyata mobil itu akan terparkir sepanjang hari. Kemacetan yang parah membuatnya hanya memakainya   jika ia tidak enggan mengendarainya….

Kota Jakarta yang dicintai menjadi begitu semrawut dan menyiksa. Tapi semua orang merasakan Semua harus menikmati denyut siksa Jakarta…….

Kali ini ia memilih busway. Ia membayangkan naik busway akan lancar melewati antrian panjang mobil  dengan leluasa dan .asyik. Tapi itu cuma bayangan. Jam kosong busway hanya berlaku tengah hari beberapa jam. Pagi dan sore penumpang bersiap disiksa oleh busway.

Diawali dengan menaiki tangga busway yang berkelok dan mulai reyot suaranya, Sebagian jalan bahkan diambil PKL berjualan. Musim hujan jalan semakin licin. Tak terbayang apabila lansia melewatinya. Apalagi penyandang cacat.

Di halte orang sudah berkerumun padat, jalur antri_tidak seperti di dalam busway yang ada ruang khusus wanita,  _masih bercampur laki-laki perempuan. Masyarakat Jakarta masih banyak yang membiarkan virus batuknya menyebar. Bersin dan batuk tidak ditutup, bahkan batuk diwajah orang. Merokok dimana-mana. Dari sopir, kernet, pengamen, PKL, pengemis semua merokok.

Diseberang jalan ada mobil mewah. Jendelanya dibuka sedikit, penumpangnya merokok  sambil menjentikkan abu nya keluar jendela. Tak sungkan  membuang abu rokok di jalan. Tidak peduli naik mobil atau apapun , masih banyak yang buang sampah sembarangan.

Kembali keantrian busway. Harapan nyaman mulai pudar. Penumpang menunggu datangnya busway  hampir satu jam, Baru datang beberapa, itupun sudah penuh. Penumpang saling berebut dan mendorong. Bau ketiak dan rokok berbaur. Bahkan taruhannya kaki terjepit di sela-selanya. Selesai antri ternyata penumpang hanya terangkut sebagian kecil. Sisanya menikamati udara panas, berdiri…….

Kelak tiba giliran naik busway, bukan lancar yang di dapat. Akibat jumlah mobil berlebihan, kadang jalur busway dikorbankan untuk beberapa mobil beralih. Rakyat yang  tak  berdaya, ikut antri berdiri dalam busway yang padat, panas, sesak. Mana yang lancar ? mana yang leluasa ? kemacetan makin menjadi. Jalur busway merambat. Ternyata di depan sebuah busway mogok. Sudah lelah, tambah lelah.

“Abis…abis….” suara kernet busway ketika bis masuk terminal. Belum sampai terminalnya, penumpang terpaksa turun di mulut terminal. Berjalan jauh, ke masing-masing tujuan.

Caahaya nelangsa. Cahaya tak iri kepada siapapun, namun jiwanya menuntut setiap hak dapat diperoleh warga Jakarta Ia tahu kendaraan pribadipun harus merogoh kocek untuk bensin dsb , plus membuang waktu dalam kemacetan tapi semoga tidak merampas jalur busway. Ia juga berharap antrian busway lebih manusiawi, ia berharap bisa cepat sampai tujuan, .namun itu cuma di catatan batinnya. Berdiri, dengan peluh, semua direkamnya, walau entah untuk apa………..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline