Lihat ke Halaman Asli

Budhi Hendro Prijono

Belajar Terus dan Terus Belajar! Pensiunan Karyawan YAKKUM RS Emanuel Purwareja-Klampok Banjarnegara. Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

“Jogja, Sepuluh Tahun Yang Lalu” (Bagian III)

Diperbarui: 31 Mei 2016   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dusun nDodotan 29 Mei 2006 (Dokumen foto pribadi: hp)

(Sambungan artikel “Jogja, Sepuluh Tahun Yang Lalu”, Bagian II)

Semalaman di base camp, mataku sulit terpejam. Terbayang warga nDodotan yang kedinginan kehujanan di dusun sendiri. Tidur beralas tanah, beratap langit. 

Aku sampaikan usulku kepada teman2 untuk membangun 'base camp' sederhana dilapangan supaya bisa berdampingan dengan warga. Seperti yang kuduga, tak ada yang keberatan, semua setuju. Aku segera kontak tim EET pengganti di RS Emanuel Purwareja Klampok. Mereka-pun setuju dengan usul kami dan mempersiapkan ‘uba-rampe’ yang diperlukan.

Hari itu, hari ke tiga pasca gempa dahsyat itu, kami sudah sampai nDodotan lebih awal daripada kemarin. Beberapa warga sudah datang menunggu kehadiran kami. Segera kami setting poskes darurat di lokasi kemarin. Hari ini teman2 EET sudah lebih terbiasa dengan kondisi lapangan khususnya terkait pelayanan kesehatan. Saya bersama mas Catur berkesempatan berkeliling menyaksikan kondisi kampung nDodotan secara langsung.

nDodotan Luluh Lantak’ 

Sepanjang mata memandang, reruntuhan bangunan rumah tinggal serta bangunan lain menjadi pemandangan memilukan. Sepanjang hari berkeliling kampung, sulit menemukan warga berwajah ceria. Wajah-wajah murung mewarnai setiap orang yang saya temui. Keramahan ‘wong Jogja’ nyaris hilang tanpa bekas. Spontanitas warga menyambut orang luar, hampir-hampir lenyap. Mereka bagaikan ‘gong’ yang malas berbunyi jika tidak ‘ditabuh’. Mereka cenderung memilih diam jika tidak ditanya. 

Dusun Dodotan Ds SumberMulyo (Dokumen pribadi: hp)

Mas Catur sebagai Community Organizer (CO) mengajak beberapa pemuda bergabung bersama EET untuk mulai ‘bangkit’. Mereka bersedia dan mengantar kami menyusuri sudut-sudut kampung sambil sesekali menceritakan saat-saat bencana datang di nDodotan dan perjuangan orang-orang kampung menyelamatkan diri mereka. Suasana kacau-balau ditambah jerit-tangis warga yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, menambah pilu siapa-pun yang mendengarnya.     

Nyaman Di Kandang Sapi

Trauma psikologi masih tampak di sebagian besar warga. Kebanyakan rumah tinggal tidak aman dihuni. Dinding tembok yang retak-retak dikhawatirkan bisa roboh sewaktu-waktu, terlebih jika gempa susulan datang mengguncang. Rumah mereka yang tampak utuh-pun tidak berani mereka huni terlebih di malam hari. Ketakutan datangnya gempa susulan menjadi alasan utamanya. Mereka merasa lebih nyaman tinggal dan tidur di kandang sapi samping rumah. 

Lebih Nyaman Di Kandang Sapi (Dokumen pribadi: hp)

Sementara itu para sapi 'mengalah' ditambatkan diluar kandang. Pemandangan yang awalnya menyedihkan berangsur terbiasa karena dirasakan oleh banyak orang. Warga kampung mulai beradaptasi dengan bau kandang. Beberapa lansia bahkan ditempatkan khusus di gerobak di samping kandang mengantisipasi jika perlu evakuasi sewaktu-waktu.

Alat Transportasi Evakuasi (Dokumen pribadi: hp)

Sore hari kami masih pulang ke base camp di Jogja sambil menunggu bantuan perlengkapan ‘membangun’ base camp di lapangan. Perasaan kami sudah lebih tertata mungkin karena kami sudah berkenalan dengan lebih banyak orang-orang kunci yang mampu mengkoordinir warga. Beberapa dapur umum didirikan atas inisiatif warga secara gotong royong. Beberapa bantuan terpal plastik juga sudah dipasang menjadi atap peneduh hujan dan terik panas.       
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline