Lihat ke Halaman Asli

Budhi Hendro Prijono

Belajar Terus dan Terus Belajar! Pensiunan Karyawan YAKKUM RS Emanuel Purwareja-Klampok Banjarnegara. Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

‘Kartini dan Korupsi’

Diperbarui: 18 April 2016   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Kartini kerap diperingati dengan nostalgia penampilan fisik perempuan berkebaya dengan gelung konde nya. Bernostalgia memang tidak salah namun ada peran ‘Kartini’ masa kini yang lebih mulia, memberantas korupsi!

Konon, kejahatan bisa terjadi manakala ada niat dan kesempatan. Niat berkaitan dengan kondisi di dalam individu seseorang, sedangkan kesempatan merupakan kondisi di luar individu.  Jika ke duanya terpenuhi, tindak kejahatan, seperti korupsi, sangat mungkin terjadi.    

Bagi seorang pejabat, ‘kesempatan’ untuk korupsi seringkali sudah tersedia. Lalu bagaimana dengan niat?  Niat baik atau jahat dikendalikan oleh hati nurani. Setiap orang memiliki nurani yang setia mendampingi manakala akan memutuskan sesuatu. Nurani tidak pernah bohong dan selalu berpihak pada kebenaran. Sayangnya, nurani seseorang bisa berubah menyesuaikan kebutuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu.  

Belum ada statistik yang menghitung jumlah koruptor menurut gender. Namun hampir pasti  jumlah koruptor laki-laki lebih banyak. Mungkin karena laki-laki lebih banyak menduduki jabatan struktural yang berpeluang melakukan korupsi. Dalam kondisi sebagai ibu rumah tangga, istri memiliki peran besar terhadap kemungkinan suami melakukan tindak korupsi. Seorang suami pencari nafkah bisa ‘terdorong’ tuntutan sang istri yang sering tidak mau tahu ‘kemampuan’ suaminya. Dorongan kebutuhan istri dirangkum menjadi sebuah niat. Celakanya, jika tidak mampu mengupayakan dengan cara yang halal, maka niat jahat yang akan muncul.

Gerakan antikorupsi sangat tepat dimotori kaum perempuan. Perempuan, dalam hal ini istri, adalah korban yang paling menderita jika suami terkena sangsi akibat korupsi. Di tengah sangsi sosial di masyarakat yang seringkali sangat kejam, mereka juga harus menjadi kepala keluarga. Beban psikologis, sosial dan ekonomi akan dirasakan sebagai hukuman berat dan tak terelakkan. Penderitaan semacam ini tak pernah berujung. Tidak akan hilang ditelan waktu, bahkan akan terasa sebagai warisan turun temurun.

Sudah mulai muncul 'Kartini' sebagai pelaku korupsi. Semoga ini bukan lantaran perempuan keliru menerjemahkan 'emansipasi'. Dalam kondisi seorang perempuan memiliki kesempatan korupsi; tanyalah hati nuranimu, pakailah kelembutan hatimu melawan nafsu rakusmu. Ingatlah keluargamu. Ingatlah masa depan anak-anakmu. Ingatlah Tuhanmu yang Maha Tahu. Yakinlah, niat jahat melakukan korupsi akan lenyap oleh keinginan nuranimu yang luhur.

Minimal ada dua langkah yang bisa dilakukan ‘Kartini’ dalam upaya memberantas korupsi. Pertama, menciptakan keterbukaan dalam keluarga. Biasakan seluruh anggota keluarga sharing tentang segala sesuatu termasuk yang terjadi di luar rumah, tentang kebutuhan keluarga dan tentang penghasilan yang diperoleh sang pencari nafkah. Jumlah pengeluaran dan penghasilan yang ekstrim harus dibahas mendalam. Dengan demikian kontrol keuangan dilakukan bersama. Warning ke seluruh anggota keluarga perlu disampaikan terus menerus. 

Budaya malu kepada sesama dan takut kepada Tuhan jika melakukan tindakan tidak terpuji, harus ditanamkan. Komitmen bersama perlu dibangun dan dibudayakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Ingat, pelaku korupsi bukan hanya monopoli pejabat. Semua kalangan yang bersentuhan dengan uang baik langsung maupun tak langsung, berpeluang melakukan korupsi. Mulai dari kernet angkot, petugas SPBU sampai pejabat kelurahan-pun memiliki kesempatan melakukan korupsi.

Kedua, perempuan bisa berperan lebih dalam gerakan anti korupsi di lingkungan rumahnya. Seksi anti korupsi perlu dibentuk dalam organisasi semacam PKK atau Dharma Wanita, yang bertugas memberi pemahaman kepada setiap anggota mengenai perkorupsian termasuk tips pencegahannya. Bangkitkan nurani dan moral yang tinggi melawan korupsi. Waspadai budaya konsumtif dalam rumah tangga. Kelompok perempuan ini juga perlu kritis terhadap kebijakan lembaga pemerintah yang dinilai bisa menyuburkan praktek korupsi.  

Jadikan Hari Kartini menjadi hari kebangkitan ‘Kartini’ masa kini dalam memberantas korupsi. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan sesuatu yang baik. Bangkitlah ‘Kartini-Kartini’ masa kini. Selamatkan negeri ini dari wabah korupsi!

Maguwoharjo, 18 April 2016

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline