Lihat ke Halaman Asli

Budhi Hendro Prijono

Belajar Terus dan Terus Belajar! Pensiunan Karyawan YAKKUM RS Emanuel Purwareja-Klampok Banjarnegara. Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

“Perawat (Bukan) Pembantu Dokter”

Diperbarui: 17 Maret 2016   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

(Artikel ini saya tulis dan dimuat Harian Suara Merdeka dalam rangka HUT Persatuan Perawat Seluruh Indonesia, 17 Maret 2010. Hari ini di HUT PPNI ke 42, saya angkat kembali tanpa perubahan. Semoga bisa menjadi perenungan bersama)

Perawat adalah pembantu dokter. Kalimat ini memang tidak pernah terucap pada pertemuan resmi atau rapat koordinasi antar tenaga kesehatan di manapun. Juga tidak pernah diakui oleh perawat sendiri. Dokter pun tidak pernah mengungkapkan secara verbal mengenai pernyataan ini. Pernyataan ini hanya rekayasa penulis untuk menggambarkan betapa kurangnya penghargaan profesi perawat di mata masyarakat kita. Simak saja adegan-adegan di sinetron. Peran perawat digambarkan masih sebatas ‘membantu’ tugas dokter. Berdiri di samping dokter yang sedang memeriksa seorang pasien sambil memegang kartu data pasien. Kemudian sang dokter ‘memerintahkan’ sesuatu kepada perawatnya, lalu pergi keluar kamar periksa.

Siapa sebenarnya perawat itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perawat adalah orang yang mendapat pendidikan khusus untuk merawat, terutama merawat orang sakit. Munas VII PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) di Manado bulan Juli 2005, mendefinisikan perawat sebagai seorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang Keperawatan yang program pendidikannya telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996, perawat dan bidan adalah tenaga keperawatan yang merupakan salah satu dari tujuh tenaga kesehatan yang diakui di Indonesia.

Secara tegas memang tidak dituliskan tentang kemandirian perawat. Perawat yang diakui sebagai salah satu tenaga kesehatan, harus memenuhi syarat pendidikan formal untuk bekal merawat pasien. Skill perawat yang tampak dari luar merupakan aplikasi ilmu pengetahuan dan latihan yang diperoleh selama pendidikan. Dengan bekal ilmu dan ketrampilan, perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan terhadap pasiennya tanpa intervensi pihak manapun.

Kemandirian seorang perawat akan nampak dari seberapa besar ia mampu mengelola masalah pasiennya, membuat rasa nyaman dan damai, serta memfasilitasi pasien mengenal masalahnya sendiri. Output di atas mustahil bisa berhasil tanpa pengetahuan dan skill perawat yang memadai, kesediaan melayani dengan ’hati’, serta kemampuan komunikasi yang baik dengan pasiennya.

Pendidikan formal perawat cukup beragam. Mulai dari SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) setingkat SMK, Diploma 3 dan bahkan sampai Strata 3/ Doktoral Bidang Keperawatan. Lingkup kerja perawat tidak hanya di lingkungan rumah sakit melainkan juga di masyarakat atau tugas-tugas non klinis seperti tugas manajerial di kantor Dinas Kesehatan. Selain sebagai professional klinis, perawat juga memiliki keahlian sebagai pengajar, manajer, dan peneliti. 

Di rumah sakit besar, perawat klinis memiliki keahlian spesialisasi seperti bedah, penyakit dalam, penyakit jiwa, dll.
 Seragam perawat sudah tidak lagi putih-putih dengan cap di kepalanya yang merupakan trade mark profesi perawat selama ini. Seragam perawat makin beragam warna dan disainnya, tidak lagi putih-putih -yang seringkali sudah berganti warna lebih gelap mendekati coklat muda. Performance fisik perawat makin menarik. Perawat bukan hanya wanita yang sering disapa suster melainkan juga pria yang jaman dahulu lebih akrab dipanggil ’pak mantri’. ’Pak Mantri’ di jamannya justru lebih dikenal daripada dokter. Mereka bahkan lebih dipercaya masyarakat sebagai penyembuh disamping para dukun atau ’orang pintar’. Masa kejayaan ’pak mantri’ sudah berlalu.

Citra perawat

Citra perawat masih jauh dari harapan insan perawat sendiri. Di mata masyarakat pada umumnya, perawat masih sering dinilai tidak memiliki ilmu dan tidak mandiri. Penilaian semacam ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena ketidak-tahuan masyarakat akan tugas-tugas perawat. Tugas perawat yang langsung bersentuhan dengan pasien memengaruhi gambaran tugas perawat secara keseluruhan. Kebutuhan pasien terlebih dengan tingkat ketergantungan yang tinggi, sangat membutuhkan bantuan perawat. Peran perawat masih sering nampak dalam kegiatan pasien sehari-hari seperti makan-minum, mandi, buang air besar/kecil. 

Agaknya, tugas keseharian perawat macam ini yang membentuk pandangan masyarakat menilai tugas seorang perawat tidak lebih dari seorang pembantu rumah tangga. Masyarakat tidak mengetahui keahlian perawat yang sesungguhnya. Pada saat perawat melakukan tindakan terhadap pasien yang menuntut keahlian –misalnya: melakukan tindakan life-saving di IGD atau ICU-, pihak pasien selalu diminta keluar kamar. 

Kedua. Tingkat pendidikan perawat yang heterogen ditambah latar belakang seseorang memilih profesi sebagai perawat, sangat menentukan output seorang perawat. Lulusan SPK pasti berbeda dengan lulusan Diploma atau Sarjana, baik dari sudut pandang ilmu maupun daya pikir serta sikap seorang perawat. Motivasi seseorang untuk memutuskan sekolah perawat juga sangat berpengaruh pada kinerjanya kelak setelah lulus. Cukup banyak perawat yang ’terpaksa’ masuk pendidikan keperawatan karena alasan ekonomi atau karena tidak lolos seleksi di fakultas atau jurusan favorit pilihannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline