Lihat ke Halaman Asli

Badriah Yankie

Menulis untuk keabadian

Cerpen | Pulang

Diperbarui: 1 Juni 2019   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokumen pribadi

1.

Lebaran ini Hendri akan pulang. Ia menyiapkan semuanya: baju baru untuk Ibu tirinya, kemeja baru untuk ayahnya, baju kaos untuk adik tirinya, sirop Marjan rasa Markisa kesukaan ayahnya, kue-kue kaleng, kue-kue lebaran yang dipesan dari Bu Narti, dan segala barang yang sebetulnya tidak perlu, semuanya telah dikemas. Bingkisan itu menggunung, berjejal-jejal berebut tempat dengan koper berisi baju dan susu keperluan anaknya.

Semua telah siap termasuk uang kertas rupiah yang masih harum, baru keluar dari bank untuk dibagikan kepada keponakan dan saudara-saudaranya. Sudah 15 tahun Hendri tidak pulang. Semenjak ia meninggalkan rumah, sejak ayahnya menikah lagi dengan alasan tidak ada yang mengurus; Hendri sebagai anak lelaki satu-satunya tidak bisa menggantikan peran ibu.

Ayah butuh istri pendamping hidup yang mengurusi makannya, menyiapkan baju kantornya, mengelapkan sepatunya, membuatkannya sirop Marjan dengan es batu ketika tiba di rumah setelah seharian kerja. Ayah sungguh tidak berdaya tanpa seorang istri. Dia merelakan anaknya diurus adiknya yang belum beranak, ketimbang harus tidak jadi menikah dengan seorang gadis lulus SMA pengganti ibunya.

Hendri meneguhkan hatinya, menguatkan segenap niatnya. Setiap perkataan ibu tirinya yang melarang jangan menemui ayahnya karena hanya akan membuat luka baginya, tidak digubrisnya. Ia ingin pulang, merayakan hari kemenangan bersama ayahnya yang belum pernah melihat cucunya.

2.

Tiba di depan pintu yang dulu ditinggalkannya selama 15 tahun membuat Hendri tertegun. Rumah kayu yang dikenal setiap jengkalnya, telah berubah menjadi rumah model minimalis dengan taman kecil di depannya. Hampir tidak percaya ketika ia mengayunkan langkah masuk ke dalam rumah dirinya diselamatdatangi berbagai ukiran Bali. Ibu tirinya memaksakan mulutnya mengucapkan selamat datang padanya. Sungging senyumnya terlihat bagaikan ukiran Bali yang dibuat dengan tidak sepenuh hati.  Begitu kasar, kaku, tidak seimbang dengan keelokan lukisan  gadis Bali yang menempel di dinding ruang tengah yang sedang dimasukinya.

Pada saat bertemu ayahnya, Hendri tidak menemukan kerinduan di perkataan ayahnya. Seolah mereka berpisah baru sehari yang lalu. Pulang dengan sambutan air mata pertemuan ayah-anak tidak terjadi. Yang ada, ayahnya menyuruh Hendri segera beristirahat dan pada saat berbuka nanti bisa mengobrol, begitu katanya. Sungguh perintah yang ganjil untuk menyambut kedatangan darah daging yang dulu dititipkan dibesarkan pada adiknya.

3

"Aku tidak mau dia berlama-lama di sini Yah," terdengar bisik suara perempuan dari ruang dapur. Hendri memasang telinga untuk bisa mendengar apa respon selanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline