Lihat ke Halaman Asli

Badriah Yankie

Menulis untuk keabadian

Merintang Waktu Puasa dengan Hobi

Diperbarui: 20 Mei 2019   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menunggu tiba saat berbuka terasa lama. Dari menit ke jam perubahannya terasa sangat lambat. Langkah jarum jam seolah enggan mengayuh mengganti detik. Begitulah waktu yang tetap sama menjadi terasa berbeda karena waktu itu sedang ditunggu. Menunggu waktu tiba berbuka puasa terasa penat apalagi pada saat tengah hari dimana haus menyerang. Mengalihkan pikiran dengan melakukan kegiatan positif atau melakukan rintang bisa menjadi pilihan yang tepat. Pikiran yang memusat pada rasa lapar bisa dialihkan pada aktivitas yang disukai, yaitu hobi.

Bagi saya sendiri, beragam aktivitas hobi yang bisa merintang waktu sehingga sampai saatnya berbuka puasa tiba tidak terlalu terasa. Saya melakukan hal-hal berikut.

Pertama, saya menyukai hal-hal berbau feminime yang bagi sebagian orang dipandang sebagai pekerjaan nenek-nenek. Menyulam dan merajut, kedua aktivitas tersebut tidak begitu populer di kalangan warga negara homo digital. Namun bagi saya, yang menjadi tamu di era homo digital, menyulam dan merajut menjadi aktivitas yang benar-benar bisa merintang waktu.

 

Kedua, saya sesekali berkunjung ke halaman depan dan belakang rumah untuk bersilaturahmi dengan tamanan dengan cara memberikan rawatan. Salah satu tanaman yang selalu dikerubuti sejenis keong kecil adalah Lotus. Saya menyiangi keong agar daun-saun Lotus tidak bolong-bolong.

Merintang waktu dengan merawat Lotus (Dokpri)

Ketiga, perintang waktu untuk menunggu berbuka puasa adalah berlancar di buku digital yang disediakan oleh iPusnas. Saya sedang menjalankan niat menjadikan puasa tahun ini berbeda yakni dengan membaca beragam buku berbahasa Sunda. 

Buku-buku tersebut merupakan buku-buku bagus yang tidak hanya secara konten luar biasa, namun secara tidak langsung dapat menghidupkan Bahasa Sunda saya sendiri yang terasa kian hari kian miskin praktik.

Salah satu buku yang sedang dibaca adalah Diarah Pati (1930) karya Margasulaksana. Buku ini dipandang sebagai karya besar pertama dalam Bahasa Sunda untuk jenis detektif. 

Ajip Rosidi memberikan kritik yang mencerdaskan terhadap buku ini terkait beberapa hal yang dipandang sedikit tidak bisa diterima, dalam arti tidak sesuai dengan zaman setting cerita itu dibuat. Misalnya tokoh utama, Sarudin, memakai piama, terdapat jam beker di rumah, dan foto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline