Media sosial, apapun namanya, merupakan platform yang berfungsi kurang lebih sama dari aspek tujuan. Media sosial didedikasikan untuk bertukar informasi dan bertukar kabar sebagai sebuah transaksi sosial yang menandai manusia adalah mahkluk sosial yang berkomunikasi dalam bahasa.
Dulu, ketika hidup mengandalkan bahasa lisan dan tatap muka, dunia dan penghuninya jauh dari derita gunjang ganjing yang menggunjing berujung chaos akibat berseliweran berita yang merugikan atau mendiskreditkan satu pihak. Kini, atas nama kebebasan berbicara dan ruang untuk berbicara begitu beragam, seperti media sosial misalnya, dunia dan penghuninya menanggung erosi dan banjir informasi. Sesuai namanya, erosi dan banjir informasi, yang dibawanya bukan hanya entitas yang mengandung kebenaran saja, apapun seolah tanpa filter bisa terseret.
Bermedia sosial menjadi penting perannya dalam kehidupan manusia masa kini. Kemudahan berkomunikasi, kepraktisan menyampaikan gagasan, sederhananya memberi kabar pada orang yang berada di berbagai tempat yang berbeda dengan satu kali klik, adalah sebagian kecil yang menjadi alasan mengapa bermedia sosial itu penting. Media sosial dapat membantu manusia untuk bersosialisasi atau bersilaturahmi.
Namun, media sosial yang pemakaian secara teknologinya relatif sederhana, bahkan tidak peduli silsilah keturunan dan asal muasal, ternyata memiliki sisi gelap.
Media sosial pada praktik penggunaanya dominan menggunakan bahasa atau teks mengakibatkan penggunanya bisa berbicara atau bergagasan apa saja. Minimnya, atau hampir tidak adanya sensor dari pihak penyedia layanan bermedia sosial mengakibatkan pengunanya dapat menikmati freedom of speech dalam arti sebebas-bebasnya.
Etika berbahasa pada dunia maya sejatinya diperlakukan dengan bahasa tatap muka dimana setiap ujaran mengandung respon. Ujaran buruk, responnya bisa lebih buruk. Sebaliknya, ujaran baik menuai tanggapan baik.
Pada bulan puasa, silaturahmi dipandang memegang peranan penting. Saking pentingnya, mengawali puasa dimulai dengan silaturahmi kepada yang telah berkalang tanah. Ini menggambarkan bahwa pada bulan puasa, bersilaturahmi kepada yang hidup lebih utama, terbukti dengan silaturahmi kepada yang matipun dilakukan sebagai pengingatnya. Bahasa penghubung antara yang hidup dengan yang mati adalah doa, Bahasa yang baik semua. Sedangkan Bahasa penghubung dengan yang masih hidup, cukup dengan sms, mengucapkan selamat berpuasa.
Menjaga diri untuk istiqomah berbahasa santun, tidak menimbulkan huru hara sangat penting pada bulan puasa untuk menjaga pahala puasa itu aman. Karena bermedia sosial menjadi silaturahmi non tatap muka, maka pentingnya menjaga Bahasa dan isi yang disampaikan sama pentingnya. Menghindari gunjing, menjauhkan bicara tidak benar atau gossip, memutuskan informasi palsu atau hoaks merupakan cara bersilaturahmi yang baik dalam media sosial. Menjadikan diri kita sendiri sumber berita benar adalah kewajiban. Menghentikan diri sendiri penyebar berita baik dan menyejukkan juga kewajiban selanjutnya.
Urusan dunia itu sangat banyak. Mengurusi pahala puasa lebih penting daripada mengurusi urusan orang dengan membuka japri untuk omong-omong julid. Lebih celaka lagi mengurusi urusan orang dengan membuka feed terbuka pada Instagram misalnya yang berisi sangkaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Godaan untuk iseng mencari apa kira-kira komentar orang tentang hal-hal tidak berfaedah memang menggiurkan. Kepuasan mendapatkan jawaban berupa like atau emotikon menggantikan hangatnya salaman.