Lihat ke Halaman Asli

Badriah Yankie

Menulis untuk keabadian

Bilur Bubur Cianjur

Diperbarui: 11 Juli 2018   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Tribunnews.com

Perang menghadirkan hal-hal tak diundang yang tidak disukai siapapun. Kesengsaraan adalah salah satunya. Kesengsaraan, tanpa melihat umur, jenis kelamin, ataupun dimana tinggal, menghimpit nyawa dalam bentuk penyakit dan tidak adanya makanan. 

Kombinasi ini menyebabkan warga negara yang ringkih, yakni anak-anak, meninggal pada usia sebelum mereka sendiri sadar bahwa mereka adalah anak-anak yang berhak menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain, dan menghirup udara segar kekanakan.

Indonesia didera derita akibat perang yang menyebabkan para orangtua kehilangan kata-kata untuk menggambarkan kesedihan sekaligus keperihan yang harus ditanggung dirinya sebagai orang tua juga anak-anaknya sebagai buah dari cintanya. 

Perang yang menghadirkan derita adalah pada masa 'saudara tua' dari negara matahari terbit tiba di bumi pertiwi yang telah lelah dengan janji palsu dari Belanda. 

Penjajahan Jepang yang tidak lebih dari tiga setengah tahun, meninggalkan lebih banyak luka dan darah bagi rakyat biasa hampir di seluruh Indonesia, termasuk kota kecil yang terlihat hampir memiliki potensi perlawanan yang hebat karena seluruh rakyatnya hanyalah petani yang kesehariannya hanya bersentuhan dengan tanah dan mencurahkan semua cintanya pada tanaman yang dibesarkannya. 

Penduduk Cianjur dominan petani, penanam padi. Dengan kata lain, masyarakat Cianjur tidak memiliki pengetahuan melawan kezaliman penjajah dengan adu fisik dan menumpahkan darah di atas tanah kerontang akibat musim kering berkepanjangan.

Perang Dunia II yang hebat, kecamuknya membuat rakyat Cianjur menjadi papa. Semua harta, apapun bentuknya, diangkut oleh Jepang dengan alasan untuk membangun Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. 

Kebrutalan tentara Jepang dalam menyita apapun yang dimiliki rakyat (termasuk anak perempuan) mengakibatkan rakyat Cianjur tidak memiliki apapun selain tulang dibungkus baju karung goni berkutu. 

Masa paceklik tak berkesudahan hadir digemilangkan dengan masa pagebug (penyakit cacar) tiba. Kedua kondisi ini disebut "Zaman Korod."  Korod itu sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menamai hantu kematian yang kejam yang mencabuti nyawa tanpa belas apalagi kasih. 

Zaman Korod adalah zaman dimana malakal maut itu terlihat bayangannya dan hampir semua orang bisa tahu kapan dia mengambil nyawa. Kematian yang begitu menakutkan dan begitu nyata.

Petani lazimnya memiliki beras, tapi tidak demikian pada masa pendudukan Jepang. Semua beras diangkut. Rakyat Cianjur yang terkenal dengan kekayaan padinya, terpaksa mengubah menu makanan pokoknya. Mulai berpindah dari beras menjadi gaplek yaitu singkong yang dikeringkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline