Dimilikinya kamera oleh hampir setiap orang melahirkan cara baru dalam mengapresiasi dan melakukan aktualisasi diri. Zaman dulu, seseorang dengan sangat rikuh bahkan merasa malu bergaya di depan kamera. Rasanya seolah menjadi orang lain ketika tersenyum pada kamera demi menampilkan wajah sumringah yang abadi.
Lain dulu lain kini. Kini, dengan kamera sebagai bagian dari fitur yang disediakan pada hape, keberadaannya tidak sesakral kamera yang memang hanya berfungsi sebagai pengambil gambar. Mudahnya mengoperasikan kamera yang ada pada hape menyebabkan semua orang dapat melakukan eksperimen hampir tanpa batas. Yang menarik adalah bereksperimen dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai objek gambar.
Hasil gambar yang dapat diedit memberikan peluang untuk mendapatkan hasil gambar sesuai keinginan. Misalnya, jika mata kurang belo, disediakan fitur artifisial pembuat mata jadi besar. Jika wajah kurang tirus, dapat menggunakan fitur yang membuat wajah lancip.
Kesenangan mengambil gambar diri sendiri, saat ini didukung dengan kamera yang memang disediakan untuk itu: kamera selfie. Ada kepuasan personal jika foto diri sendiri terlihat sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dirinya sendiri pula. Kesenangan ini secara perlahan dan seolah reflek membuat seseorang senang mengambil gambar diri sendiri di manapun dan kapan pun. Kadang terlihat lucu, seseorang pergi ke pegunungan untuk menikmati hawa sejuk gunung dan hijaunya alam hutan. Dia malah sibuk memfoto selfie dirinya yang tentu saja porsi wajahnya lebih banyak ketimbang alam sekitarnya.
Selfie bisa saja jadi pintu awal untuk jadi narsis. Swafoto memungkinkan seseorang berfoto dalam pose sesuai keinginannya dan setelah itu foto-foto itu dikagumi dirinya sendiri. Narsis bisa diartikan dirinya lebih penting dari yang lainnya. Akibat dari narsis, si pelaku tidak memedulikan yang lain. Apakah ini berbahaya? Bisa saja berbahaya. Ketika narsis telah hadir, maka dunia sekitarnya hanyalah jadi alat untuknya. Dalam sebuah kegiatan, misalnya, seorang narsis akan mengambil gambar hanya untuk kesenangan dirinya tanpa peduli apapun. Mendapatkan foto dirinya di tengah kegiatan dengan fokus padanya menjadi tujuan. Kegiatannya itu sendiri, baginya tidak penting. Baginya dia mendapatkan latar, memperolej keaan, dan memiliki momen yang menurutnya menguntungkan dirinya.
Orang narsis cenderung kurang sensitif. Segala aktivitas diabadikan dalam bentuk foto tanpa melihat situasi dan kondisi. Misalnya, mengambil foto di tempat bisa saja dalam pandangan orang lain kurang sesuai. Misalnya memfoto wajahnya dekat mayat dengan tujuan narsis telah hadir melayat. Penghormatan pada mayat dan keluarga yang berduka tidak diindahkan. Dalam benak si narsis hanyalah bagaimana membuat dirinya tertangkap kamera dengan latar yang menurutnya pas.
Narsis dalam pandangan ahli jiwa dianggap kondisi jiwa yang tidak sehat. Berfoto dan mengabadikan momen, boleh saja. Namun perhatikan adab, kesopanan, dan etika mengambil gambar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H