Mi Sagu Goreng
Pekanbaru, sebagai bagian dari wilayah Nusantara, menawarkan aneka makanan khas daerah yang secara nilai ekonomis, nilai historis, nilai budaya, dan nilai futuristis yang sangat menggiurkan untuk dijajaki.
Salah satu makanan yang tersedia di Pekanbaru adalah Mi Sagu. Sama seperti Mi lainnya, mi sagu berbentuk tidak jauh berbeda dengan mi pada umumnya. Pembeda khasnya, mi sagu berwarna dasar putih seperti bihun atau mi-mi lain yang dibuat berbahan dasar beras.
Mi Sagu memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dari beras. Sagu memiliki kandungan 94 gram, sedangkan beras 74 gram. Melihat perbandingan kandungan karbohidratnya, maka untuk menghasilkan lebih banyak energi, sagu menjadi pemenangnya.
Negeri Nusantara ini memiliki ladang sagu yang sangat luas. Di setiap pulau, tanaman penghasil karbohidrat sangatlah banyak dan beragam pula jenisnya. Contoh, di daerah Sumatera dan Sulawesi pohon jenis palm ini disebut rumbia, rumbie, hambia, rombia; di Maluku disebut ripia, lapia, lepia; di pulau Jawa disebut pohon enau, aren, kawung. Keseluruhan tanaman palem tersebut menghasilkan tepung sagu.
Di Jawa Barat, tepung sagu yang dihasilkan dari pohon enau, dalam bahasa Sunda disebut Aci Kawung, khusus di Cianjur, mi aci kawung digunakan menjadi salah bahan makanan lokal bernama Geco.
Mi sagu yang ada di Pekanbaru berasal dari pohon sagu yang tepungnya diolah menjadi mi. Masakan mi sagu termasuk makanan khas lokal Melayu yang pembuatannya relatif mudah. Pembuatannya yaitu sagu dicuci dan ditiriskan, goreng bawang putih, telur, masukkan mi sagu, oseng sampai layu, tambahkan toge atau sayuran lainnya, beri garam, merica dan kecap manis, angkat dan hidangkan.
Kemudahan memasak mi sagu, diimbangi pula dengan relatif murahnya harga tepung sagu. Kedua hal ini mengakibatkan makanan lokal cenderung lebih murah. Sayangnya, tanaman penghasil sagu belum dibudidayakan secara optimal. Sebagai contoh, di Cianjur, para pemilik pohon kawung mengaku bahwa yang menanam pohon enau itu bukan dirinya, tapi Careuh, sejenis hewan yang memakan buah caruluk. Akibatnya dimana Careuh buang kotoran, disitu pula pohon kawung tumbuh; para pemilik pohon enau tidak memindahkannya, pohon kawung dibiarkan tumbuh begitu saja diserahkan pada kemurahan alam.
Pohon jenis palem-paleman yang tersebar di jagat Nusantara seharusnya menjadikan warga Nusantara penikmat beragam makanan yang dibuat dari sagu bukan dari tepung terigu impor. Selain itu, keberadaan pohon sagu yang sangat mudah dari segi pemeliharaannya, seharusnya menjadikan warga Nusantara tidak mengeluh kelaparan, kurang makan.
Makan dalam kontek menyantap makanan pokok, selama ini acuannya makan nasi. Dengan sendirinya, pola pikir ini mengakibatkan setelah makan sepiring mi sagu, mengaku belum makan. Latihan menkonsumsi beragam makanan yang mengandung karbohidrat tinggi sudah saatnya diperkenalkan pada warga negara Nusantara.
Secara futuristis, mi bisa menjadi tantangan baru bagi para pencipta makanan lokal untuk membuat olahan sehat tapi dengan kemasan modern. Secara budaya, makanan khas daerah yang telah turun temurun diwariskan, sudah waktunya untuk kembali diperkenalkan kepada kawula muda (jangan kalah gencar penawarannya dengan makanan produk negeri paman Sam). Secara historis, telah tercatat bahwa masyarakat biasa, bisa bertahan hidup karena makan sagu.