Lihat ke Halaman Asli

Pahlawan Itu Tidak Dilahirkan...

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alih-alih mengharapkan para koruptor bertobat, lebih baik berdoa dan tak hentinya berusaha membakar semangat kaum muda untuk tidak berhenti berpengharapan akan kebaikan di dalam dirinya. Bukan, bukan, penulis tidak pernah bermaksud apatis dengan apa yang dilakukan oleh para petinggi negara ini di kantor dan dengan koleganya masing-masing, tidak. Penulis hanya mencoba realistis dengan kondisi sekarang. Mustahil untuk menggugah hati nurani mereka dengan sebuah momentum yang hanya akan diperhatikan oleh orang-orang yang peduli dengan bangsa dan semangat kebangsaan.

Untuk itu, penulis akan lebih mengalihkan fokusnya mengomentari semangat di masa lalu dengan masa sekarang dari perspektif dua tokoh di dua zaman dalam satu status yang sama, mahasiswa.

Dalam sebuah perbincangan di ruang kuliah, Anda tentu mengharapkan ada perkara-perkara ideal yang dibincangkan oleh kaum mahasiswa tentang banyak hal: akademik, tujuan hidup, dan akhirnya sampailah kepada bangsa dan negara. Namun apa yang terjadi kemudian adalah sebuah fenomena yang tidak jarang ditemui oleh penulis dalam komunitasnya.

"Bro, kita harus melakukan sesuatu. Kalau mahasiswa pun berhenti mempercayai diri dan kaumnya untuk bisa berbuat sesuatu bagi bangsanya, dan tidak yakin dengan kapasitas hati nurani dan kebaikan serta kejujuran yang dikaruniakan Tuhan baginya, siapa lagi yang bisa kita yakini?", ujar penulis kepada seorang rekannya mahasiswa di sela-sela perkuliahan.

"Benar sih, tapi itu ga semudah itu bro! Gimana mungkin dengan uang 1,5 juta lu bisa hidup layak di kota besar? Ga ada cara lain. Sabet kiri-kanan donk. Lu harus realistis juga.", ujar teman kuliah penulis dengan berkobar-kobar.

Dengan sebuah riset kecil-kecilan dan spontanitas, penulis pun tidak heran dengan pola pikir seperti ini. Sistem pendidikan dan nilai hidup yang ditanamkan oleh peradabanlah yang dianut oleh pemuda dewasa ini. Pragmatisme menggantikan karakter tahan banting dalam proses penggapaian tujuan, materialisme menggantikan semangat kesetia-kawanan dan kasih yang tanpa pamrih terhadap sesama, hedonisme menggantikan prinsip hidup yang disiplin dan keluar dari zona nyaman pribadi, serta lelucon yang apatis menggantikan spirit mengkritisi dan kepedulian terhadap permasalahan bangsa. Inilah wajah kaum muda saat ini, walaupun memang masih ada dari antara mereka yang "gila" akan visi dan panggilan untuk membuat hidup dan peradaban yang lebih baik di bangsanya.

Sebuah refleksi dari cerita masa lampau dari para senior tentu menjadi secercah harapan dan semangat yang baru menghadapi arus zaman pragmatis dan apatisme ini. Dalam beberapa pertemuan dengan mereka, penulis mendapati bahwa zaman dulu keberadaan seorang mahasiswa yang apatis, nirpatriotisme, dan tanpa kesetia-kawanan hanyalah sebuah kehinaan bagi mereka. Mahasiswa secara umum pada waktu itu sangat peduli dengan bangsanya, sangat kritis dengan perlakuan pemerintah kepada rakyatnya, dan ekses yang menjadi kenangan manis akan patriotisme mahasiswa dan kaum muda yang sangat kita ingat tentu saja lengsernya Pendiri Bangsa, Ir. Soekarno -- yang gagal membatasi hasrat manusiawinya untuk berkuasa -- dan tentu saja Soeharto dari hegemoni kekuasaannya selama 32 tahun di negeri ini.

Sangat bergairah ketika mengingat masa-masa ini dalam perspektif para aktivis masa lalu ini. Dengan bangga mereka memberikan segalanya bagi bangsa ini (bahkan nyawa mereka sekalipun). Bahkan tak sedikit dari mereka yang tewas tanpa predikat sebagai seorang pahlawan, seperti yang diterima oleh tokoh-tokoh lain yang "dapat diingat" oleh orang banyak.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang kita harapkan dari generasi yang apatis seperti sekarang ini? Tidak ada kepedulian, yang ada hanyalah "Semua tentang hidupku dan kepastian karierku di masa depan. Bangsa ini akan mengurus dirinya sendiri tanpaku." Tentu saja, ketika Anda ke kampus-kampus top di negeri ini, Anda hanya akan menemui segelintir mahasiswa dan pemuda yang peduli dengan bangsa dan sesamanya sebagai "orang aneh" bagi konteks masyarakat kampus, setidaknya di sebuah kampus terkenal di Bandung. Jika dahulu mahasiswa keren adalah mereka yang bersuara dan melatih dirinya untuk mengubah wajah bangsa, maka sekarang mahasiswa adalah mereka yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh nilai terbaik dan karier yang menjanjikan di masa depan.

Mungkin tulisan ini adalah sebuah surat kepada para pemuda dan mahasiswa di luar sana yang masih memiliki hati dan pengharapan akan perubahan wajah bangsanya. Mengajak para pemuda dan mahasiswa untuk bersatu dan membentuk jaringan orang-orang benar, melatih diri mereka untuk tahan banting ketika beroleh kesempatan berkarya bagi bangsa suatu saat nanti.

Tidak perlu banyak ragi untuk mengkhamirkan sebuah adonan tepung terigu untuk menjadi seloyang roti yang nikmat dan empuk. Tidak perlu benih bijih sesawi yang berukuran besar untuk menumbuhkan pohon besar yang berdaun dan punya ranting lebat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline