Lihat ke Halaman Asli

Mahasiswa dan Orientasi Hatinya

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang pemuda yang berkuliah di sebuah kampus ternama di negeri ini, sebut saja Mahasiswa (bukan nama sebenarnya), akhirnya tiba di saat-saat terakhir studinya. Dengan bekal disiplin ilmu, softskill, dan pengalaman selama kuliah dan mengikuti sejumlah proyek dan asistensi  bersama dosennya, dia cukup optimis memandang masa depan. Dia yakin, bukan dia yang menantikan masa depan, tapi masa depanlah yang menantikan kehadiran dan sentuhannya sehingga dengan itu, dia berharap akan ada perbedaan di masa depan ketika dia memasuki dunia pekerjaan nanti.

Tidak ada ketakutan dan keraguan dalam hatinya untuk melangkah ke dunia profesional, sampai akhirnya dia pun mulai berhadapan dengan sebuah kenyataan yang cukup berat. Seperti kebanyakan mahasiswa dan alumni yang berasal dari kampusnya ini, dia pun menemukan dilema mendasar yang selalu dihadapi tiap kali seseorang akan melangkah sebagai alumni dari kampus ini. Yah…dilema untuk mengabdikan diri.

“Mau ke mana saya? Saya tahu pasti, bangsa ini sangat membutuhkan putra-putri terbaiknya untuk membangunnya, dan tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya yakin, saya punya ‘sesuatu’ untuk diberikan kepada bangsa ini dan seharusnya bisa memberi perbedaan. Saya yakin…anak bangsa ini harus mengubah kebobrokan sistemik yang sudah terjadi bertahun-tahun, dan walapun ini kedengaran mustahil – jika saya berhasil membuat jejaring orang-orang idealis yang dulunya sepikiran dengan saya – mengubah sistem yang korup di pemerintahan dan birokrasi bukanlah sesuatu yang mustahil lagi. Baik…saya siap berkarya di instansi pemerintahan!”

Entah berapa orang mahasiswa di kampusnya ini berpikir seperti ini, benar-benar pemikiran yang luhur dan berani. Akan tetapi, akhirnya mayoritas dari mereka akhirnya menyerah dan mengatakan, “Hmm…benar memang saya punya ‘sesuatu’ untuk diberikan bagi bangsa. Tapi seberapa yang dapat diberikan pada saya? Sangat mungkin saya harus seperti Gayus untuk bisa mendapatkan apa yang pantas saya terima dari bangsa ini. Dan lagipula, harapan sudah terlanjur tinggi. Keluarga saya, orang-orang di kampung (karena berita kemenangan saya berkuliah di kampus ini diketahui orang-orang se-kecamatan, lebaaaaay, hehehe…), dan beberapa teman saya sudah menduga-duga, suatu saat nanti saya pasti jadi orang mapan dalam tempo yang singkat dan mengangkat nama orang tua lewat kekayaan saya. Karena itu, sepertinya saya harus menyerahkan ijazah saya ini ke perusahaan-perusahaan energi (oil & gas) multi-nasional, yang mampu ‘menghargai’ skill, pendidikan, dan kepintaran saya dengan harga yang sepantasnya. Yah…ini hanya tentang Hukum Kekekalan Energi, kau akan menerima yang besar ketika berinvestasi besar, itu sangat fair! Saya habis-habisan belajar di kampus ini, sampai kurus-kering dan jarang tidur hanya demi nilai dan kepintaran yang baik, dan memungkinkan untuk bersaing ke perusahaan-perusahaan besar yang mampu menghargai semua yang saya miliki.

Anda mungkin bisa komplain dan mengernyitkan dahi ketika membaca dua pemikiran yang dilontarkan oleh pemuda di atas. Tapi, mari jujur kepada diri sendiri. Apa yang kita kejar di dunia ini? Apa yang paling kita inginkan sebagai manusia, dan bagaimana Anda memandang diri Anda sendiri? Saya pribadi tidak pernah mencoba untuk menganggap pilihan mengabdi kepada perusahaan asing/swasta/beromset besar sebagai sesuatu yang “kurang baik”. Tidak…, saya hanya ingin menyoroti masalah motivasi, yaitu orientasi hati kita, apa yang mendorong Anda untuk memilih tempat pengabdian kecerdasan dan kemampuan Anda? Uang? Signifikansi? Atau kepuasan tersendiri sebagai seorang manusia yang rindu selalu berkarya dengan penuh inovasi?

Bagi semua mahasiswa yang sudah berada di tingkat akhir, ini mungkin jadi pertimbangan kita bersama. Mau ke mana kita? Apa yang akan kita lakukan bagi hidup kita yang cuma sekali dan sebentar ini?

Sekali lagi ingin saya tekankan, tidak ada tendensi untuk menggugat pilihan kita, namun lebih ingin mengantar ke sebuah diskusi, apa orientasi utama kita dalam memilih tempat untuk mengabdikan diri dan hidup kita sebagai manusia berkarya, yang dianugerahi kesempatan mengecap pendidikan di tempat yang menyediakan kesempatan besar untuk belajar dan menjadi bermakna?


Semoga jadi bahan perenungan kita bersama...

-YDPS-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline