Siti tertegun sejenak. Dia melihat kearah sang ibu yang didorong oleh petugas menuju ruang rawat inap. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Kak, bagaimana dengan ibu?"
"Ibu baru saja selesai di operasi. Dia butuh istirahat. Kita juga perlu menjaga kesehatan. Udamu belum bertemu nasi dari kemarin. Kau juga belum makan bukan?"
Tanpa menunggu jawaban Siti, Alif sudah menarik tangannya keluar. Ali Akbar dan Dokter Rian memandang kepergian dua orang itu dengan linglung.
"Siapa pemuda itu, Direktur?"
"Dia... Dia bos baru rumah sakit ini. Tapi kau tak boleh mengungkapkan identitas dirinya tana ijin!"
Mata dokter Rian berfluktuasi sesaat. Tapi dia menggelengkan kepalanya. "Aku tak peduli apakah dia bos atau bukan. Dia memiliki energi dalam, dimataku dia seperti dewa! Kau tenang saja! Bolehkah aku tahu identitasnya yang lain?"
Ali Akbar melihat kiri kanan. Lalu berkata ringan dan setengah berbisik. "Apakah kau pernah mendengar seorang prajurit terbaik berpangkat letnan Jenderal?"
Mata dokter Rian makin membesar. "Maksudmu Letnan Alif? Bawahan langsung Panglima Jenderal Adi Untung?"
Ali Akbar mengangguk. "Dia baru saja mengakuisisi Rumah Sakit ini dari Keluarga Panji satu jam yang lalu"
Sementara itu Alif mengajak Siti memasuki sebuah restoran tak jauh dari Rumah sakit. Tapi baru saja di pintu masuk, beberapa petugas keamanan menghalanginya dengan wajah ganas.
"Mohon maaf, manajemen kami tidak mengizinkan permintaan sumbangan dan sejenisnya. Silakan ketempat lain saja!"