Tahun 2021 tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu kita akan memasuki tahun baru 2022. Banyak tujuan dan harapan yang hendak dicapai di tahun yang baru. Salah satunya tentu adalah harapan agar pandemi Covid 19 segera sirna di 2022, agar ekonomi Indonesia dapat bangkit dan kembali bertumbuh sesuai rencana pemerintah.
Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu tulang punggung penerimaan pemerintah adalah dari sektor pajak, dan seperti biasa, pemerintah selalu menanggung beban target penerimaan pajak yang harus dicapai sampai dengan akhir tahun. Syukurlah, hingga menjelang tahun baru yang tinggal menghitung hari ini, penerimaan pajak pemerintah telah mencapai 98% (Rp 1.205,81 triliun) dari target yang telah ditetapkan pemerintah. Tentunya ini tak lepas dari kerja keras pemerintah menggenjot penerimaan pajak dengan berbagai cara, terutama menjelang akhir tahun 2021 ini.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelas atas Data/Keterangan), yang diterbitkan oleh masing-masing Kantor Pajak kepada para Wajib Pajak, terutama untuk meminta penjelasan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan apabila ada data/keterangan tambahan yang dirasa perlu diberikan atas penelitian SPT (Surat Pemberitahuan) Pajak yang sebelumnya telah disampaikan oleh WP bersangkutan.
Loh, kok bisa penerbitan SP2DK jadi cara untuk meningkatkan penerimaan pajak ? Begini. SP2DK diterbitkan biasanya karena ada dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang di bidang perpajakan. Dalam SP2DK biasanya dijelaskan oleh pihak Kantor Pajak (fiskus) tentang kondisi yang membutuhkan data dan/atau keterangan tambahan dari Wajib Pajak. Jika data dan/atau keterangan tambahan tersebut tidak disampaikan, maka dugaan atas belum terpenuhinya kewajiban perpajakan WP yang bersangkutan bisa jadi benar, sehingga WP diharapkan untuk melunasi kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi tersebut.
Banyak kali penerbitan SP2DK berujung pada pemeriksaan pajak oleh fiskus, karena atas dugaan belum terpenuhinya kewajiban perpajakan WP yang bersangkutan, sehingga dirasa perlu ditindaklanjuti dalam bentuk pemeriksaan menyeluruh atas kewajiban perpajakan WP tersebut. Namun tak jarang juga SP2DK berakhir dengan pembetulan SPT yang memang merupakan hak WP sebelum dilakukan pemeriksaan pajak. Tentunya pembetulan SPT sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku sehingga ada tambahan setoran pajak ke Kas Negara.
Sayangnya, sepanjang tahun 2021 ini, penerbitan SP2DK seringkali agak kurang menggunakan nalar dan terkesan menakut-nakuti Wajib Pajak, dengan menggunakan pilihan kata dan gaya bahasa yang menyudutkan Wajib Pajak. Sebagai contoh, dalam beberapa SP2DK, disebutkan bahwa "Wajib Pajak belum melunasi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas pembelian harta (yang ternyata adalah pembelian kendaraan bermotor), sehingga berpotensi merugikan Negara atas hal tersebut." Padahal sebagaimana kita ketahui, dalam pembelian kendaraan bermotor melalui dealer, nilai PPN pasti sudah ditambahkan dalam harga OTR (On The Road), sehingga adalah hal yang tidak masuk akal jika pembeli/WP dikatakan belum melunasi PPN tersebut.
Dalam kesempatan lain, seorang Wajib Pajak merasa keberatan karena dikirimi SP2DK yang mempertanyakan penurunan setoran PPh Pasal 25 di tahun pajak 2020. Padahal perhitungan setoran PPh Pasal 25 sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Memang setelah diberi tanggapan dan keterangan oleh Wajib Pajak tersebut, tidak ada tindak lanjut atas SP2DK tersebut, yang mana artinya data yang telah disampaikan oleh WP dalam SPT nya sudah benar. Namun tetap saja penerbitan SP2DK tersebut telah membuat kehebohan bagi WP.
Di lain pihak, mulai 1 Januari - 30 Juni 2022, pemerintah akan menggelar Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang lebih dikenal sebagai "Tax Amnesty jilid 2", di mana Wajib Pajak yang belum sepenuhnya mengungkapkan hartanya dapat menempuh program ini sehingga diharapkan tidak ada lagi harta yang belum terungkap dalam SPT Wajib Pajak. Sayangnya, salah satu aturan untuk dapat mengikuti PPS ini adalah semua proses hukum yang sedang terjadi harus diselesaikan lebih dahulu sebelum mengikuti PPS. Jadi semua proses pemeriksaan pajak, keberatan, banding, dll harus diselesaikan dahulu baru boleh ikut PPS.
Namun bagi WP yang telah menerima SP2DK masih dapat mengikuti PPS ini dengan catatan Wajib Pajak yang mendapatkan SP2DK tetap bisa ikut serta dalam PPS sepanjang belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP dengan indikator utamanya yakni belum terbitnya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Wajib Pajak juga harus menyelesaikan seluruh permintaan dalam SP2DK dengan melakukan pembayaran pajak sesuai SPHP yang diterima Wajib Pajak atau pemeriksaan yang sudah dilakukan, baru dapat mengikuti PPS.
Semoga ke depannya pemerintah, terutama jajaran Direktorat Jenderal pajak dapat lebih baik menata penerbitan SP2DK sehingga tidak lagi menjadi "momok" menakutkan bagi Wajib Pajak, disertai harapan agar di 2022 penerimaan pajak Negara dapat tercapai, sehingga pertumbuhan ekonomi Negara juga dapat pulih seperti sediakala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H