Setelah membandingkan beberapa beasiswa ke luar negeri, dan bertanya dengan alumninya, beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat adalah beasiswa yang paling tidak saya rekomendasikan.
Alasannya banyak, beberapa di antaranya:
1. Prosesnya lama dan berbelit-belit. Butuh waktu satu tahun lebih, mulai dari poses mengirimkan dokumen hingga berangkat. Biasanya deadline 15 April (mulai tahun 2017 menjadi Februari), penerima beasiswa akan berangkat Juli-September di tahun BERIKUTNYA. Prosesnya sendiri bisa dilihat dari beberapa blog yang membahas secara detail.
2. Menurut saya ini yang paling aneh, beasiswa Fulbright tidak memberikan beasiswa penuh. Untuk program doktor misalnya, Fulbright hanya memberika biaya tiga tahun, padahal normalnya S3 di Amerika minimal 5 tahun. Untuk ilmu sosial bisa sampai tujuh tahun! Hal ini juga yang membuat kuliah S3 di Amerika kurang menarik dibandingkan Eropa atau Jepang yang normalnya hanya 3 tahun untuk S3. Terus setelah tahun ketiga bagaimana? ada beberapa alternatif; bekerja di universitas sebagai teaching asisstant (asisten dosen), atau mencari funding yang lain. Tapi ya itu, dipikirkan dan diusahakan sendiri!
3. Selain itu, ternyata ada yang namanya shortfall. Kalau universitas yang anda tuju biaya kuliahnya melebihi kuota yang dialokasikan Fulbright, Anda harus bayar sendiri atau cari sendiri kekurangan (shortfall)nya! Dan ternyata kuota yang diberikan pun berkisar 30k$/tahun, di Amerika cuma universitas kelas menengah saja yang memenuhi persyaratan ini. Jadi akan susah sekali untuk masuk ke universitas ternama seperti Yale atau Harvard misalnya. Ada beberapa kasus, meskipun penerima beasiswa sudah lolos seleksi ke universitas bergengsi, namun batal karena masalah shortfall ini. Paling enak memang beasiswa LPDP; kalau Anda berhasil tembus universitas bergengsi, justru dapat bonus!
4. Tidak ada tunjangan keluarga. Dibandingkan dengan beasiswa yang lain, beasiswa Fulbright termasuk yang 'pelit'. Uang saku bulanan umumnya sangat pas-pasan untuk hidup sendiri, boro-boro bawa keluarga! Bahkan ada aturan tidak boleh membawa keluarga pada semester pertama, meski bayi sekalipun! Saya mendapatkan cerita ada penerima beasiswa yang baru melahirkan harus berpisah dengan bayinya.
5. Tidak bisa bekerja sampingan. Sudahlah tidak ada tunjangan keluarga, penerima beasiswa juga tidak boleh bekerja sampingan seperti beasiswa lain. Beasiswa yang paling 'enak' untuk hal ini adalah beasiswa Australia; beberapa alumninya bisa beli mobil bahkan rumah dari hasil kerja sampingan selama studi.
6. Ribet dan 'layanan' terhadap penerima beasiswa. Tiap tahun, penerima beasiswa Fulbright harus ribet mengurusi urusan pajak (grantax). Memang setiap penerima beasiswa mendapatkan advisor sebagai 'pembimbing', tapi satu orang advisor bisa menangani lebih dari 100 orang (ceritanya sih gitu).
7. Hidup di AS. Amerika Serikat, satu-satunya negara maju yang membebaskan senjata untuk orang sipil. Beli senjata pun bisa di department store. Tidak heran jumlah kasus penembakan massal (mass shooting) dan gun violence sangat tinggi. Layanan kesehatan juga sangat mahal. Meskipun punya asuransi, bukan berarti biaya berobat ditanggung sepenuhnya, tetap harus bayar lagi. Dan di beberapa daerah (terutama bagian Selatan seperti Texas dan Mississipi) masyarakatnya cenderung rasis dan islamophobia. Apalagi dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, masa depan di Amerika tidak bisa diprediksi dan sepertinya bakal suram:(
Beasiswa Fulbright tentunya ada bagusnya juga, sudah banyak artikel yang membahasnya. Poin-poin di atas saya kemukakan untuk memberikan pandangan lain sebagai pertimbangan orang-orang yang ingin mendapatkan beasiswa luar negeri. Selamat berburu beasiswa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H