Lihat ke Halaman Asli

Yana Haudy

TERVERIFIKASI

Ghostwriter

Candi Ngawen dan Asal-usul Pemahat Relief Borobudur ke Pembuat Cobek Muntilan

Diperbarui: 8 Agustus 2024   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagar masuk candi Ngawen | Foto: Yana Haudy

Konon cobek buatan Muntilan terkenal karena awet, enak buat ngulek, dan hasil ulekannya nikmat. Ini saya tahu beberapa tahun lalu dari teman-teman yang nitip minta dibelikan cobek buatan Muntilan ke saya. Saya bahkan baru tahu kalau ada munthu (ulekan) model bulat bertumpuk.

Munthu bulat untuk mengulek | Foto: Yana Haudy

Ciri khas cobek buatan Muntilan mungkin karena bahan bakunya dari batu gunung Merapi. Merapi kerap melontarkan bebatuan saat erupsi. Saat erupsi besar tahun 2010 yang menewaskan kuncen (juru kunci) Merapi Mbah Maridjan, Merapi melontarkan banyak batu besar seukuran Brio, Agya, dan Ayla.

Berdasarkan foto yang pernah ditunjukkan suami ke saya, beberapa dari batu itu nyangsang di jalan raya Magelang-Yogya di antara Kecamatan Salam dan Kecamatan Tempel (Sleman, DIY). Padahal dari puncak Merapi ke jalan itu jaraknya sekitar 20 kilometer.

Batu-batu besar itu juga terlontar ke kebun penduduk, sungai, bahkan pinggir jalan desa. Menurut Geologinesia dalam beberapa letusan, besarnya batu yang terlontar dari gunung berapi diameternya bisa mencapai 3-5 meter atau lebih.

Jadi masuk akal kalau dibilang cobek Muntilan dibuat dari batu gunung Merapi, karena batunya memang tersedia. Selain itu aktivitas penambangan batu di gunung Merapi juga masih berlangsung sampai sekarang.

Satu lagi yang khas dari cobek Muntilan yang diketahui semua orang, para pembuatnya merupakan keturunan dari pemahat relief di candi Borobudur.

Cerita soal para pemahat relief Borobudur yang keturunannya sekarang jadi pembuat cobek dan pematung dikisahkan turun-temurun dari kakek ke cucunya, dari cucu ke cicitnya, dan seterusnya. Itulah yang membuat cobek Muntilan istimewa.

Satu Dinasti Dua Agama

Kabupaten Magelang punya candi peninggalan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang bercorak Hindu, yaitu Pendem, Asu, Umbul, Gunungsari, Gunung Wukir, Candiretno, dan Selogriyo. Sedangkan yang bercorak Buddha ada Pawon, Umbul, Ngawen, Mendut, dan Borobudur.

Adanya candi Buddha dan Hindu di wilayah yang sama menurut sejarawan Belanda Frederik David Kan Bosch karena adanya dua wangsa (dinasti) berbeda yang memerintah Medang, yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang Hindu. 

Namun, pendapat Kan Bosch dibantah pakar sastra Jawa kuno Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka hanya ada satu wangsa di Medang karena Sanjaya merupakan keturunan dari wangsa Syailendra. Hanya saja dia berbeda agama dari pendahulunya. Poerbatjaraka menafsirkannya dari Prasasti Sojomerto.

Semua candi yang ada di Kabupaten Magelang dapat dimasuki gratis, bahkan tanpa biaya parkir, kecuali Selogriyo, Mendut, dan Borobudur. Borobudur telah ditetapkan oleh Kemenparekraf sebagai destinasi super prioritas, jadi harga tiket dan fasilitasnya tentu paling istimewa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline