Beberapa sekolah jenjang SD-SMA di Kabupaten Magelang sudah menggelar wisuda kelulusan. Sekolah swasta menghelat wisuda di ballroom hotel berbintang dan sekolah negeri cukup di aula perpustakaan daerah. Sekolah negeri yang tidak punya biaya cukup menggelar perpisahan saja di sekolah.
Biasanya sebelum kelulusan ada beberapa kegiatan lain yang serangkai dengan wisuda sebagai penutup. Rangkaian kegiatan itu tergantung seberapa besar orang tua mau membiayainya. Kebanyakan sekolah di Jateng, termasuk Magelang, menggunakan istilah wasana warsa sebagai puncak acara dari rangkaian kegiatan jelang-lulus sekolah.
Di SD anak kami yang kebetulan negeri, sebelum wasana warsa (diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya penghabisan/ penutupan/akhir tahun) rangkaian kegiatan jelang-lulus sekolah ada doa bersama dan motivasi, photoshoot untuk album kenangan, dan wisata ke Semarang.
Acara wasana warsa mirip dengan wisuda cuma kemasannya lebih sederhana. Bisa dilakukan di aula sekolah, aula perpustakaan daerah, bahkan di aula balai desa. Para siswa juga tidak memakai toga, hanya samir saja.
Biaya Kegiatan dan Sudut Pandang Orang Tua
Meski wasana warsa lebih sederhana dari wisuda, nyatanya duit yang harus dirogoh orang tua tidaklah sederhana sebab mereka harus menyewa kebaya, surjan, atau jas untuk anak. Belum lagi kalau anak perempuannya minta dirias salon seperti umumnya wisuda. Biaya tambah bengkak lagi kalau orang tua juga mesti menyewa jas atau kebaya untuk menghadiri wasana warsa itu.
Belum selesai. Duit harus dirogoh lagi kalau para emak mau tampil sama cantiknya dengan anak perempuan mereka. Maka keluarlah biaya rias di salon. Keinginan untuk tampil sama cantiknya dengan anak ini sayangnya menular. Melihat koleganya sesama emak sudah memesan tempat di salon, emak lain ikutan juga ingin tampil spektakuler.
Maka kita bisa lihat, cuma emak berkepribadian kuat yang mampu menahan godaan untuk ikutan merias diri di salon dengan riasan mutakhir bercirikan bibir glossy. bulu mata lentik, dan bawah mata merona ala anime.
Kalau dihitung-hitung, biaya untuk mengikuti wasana warsa buat para bakul sayur di pasar, tukang gali pasir, penjahit, atau pedagang kue sebetulnya memang menguras kantung, Namun, para orang tua ekonomi nonsultan ini yang justru paling gercep melunasi iuran untuk membiayai seluruh kegiatan jelang-lulus itu.
Bukan cuma melunasi iuran tepat waktu, mereka juga tidak membiarkan anak pergi dengan tangan kosong saat berwisata. Anak-anak dibekali dengan uang saku yang wajar dalam artian tidak sedikit, tapi juga tidak kebanyakan.
Keadaan sedikit berbeda ditunjukkan oleh orang tua yang ekonominya terbilang mampu. Mereka lebih sering mengeluh begini-begitu dan bayar iurannya pun harus ditagih melulu oleh bendahara paguyuban. Bahkan ada yang memberi anaknya uang saku amat minim karena pertimbangan makan-minum sudah ditanggung sekolah.