Lihat ke Halaman Asli

Yana Haudy

TERVERIFIKASI

Ghostwriter

Last Song Syndrome dan Upaya Melestarikan Lagu Anak Tradisional

Diperbarui: 15 September 2023   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ( Shutterstock via KOMPAS.com)

Saya pertama kali dengar utuh lagu "Cikini Gondangdia" baru saat Gala Dinner KTT ASEAN 6 September kemarin yang dinyanyikan Aurelie Moeremans. Sebelumnya saya cuma dengar lagu yang dipopulerkan oleh Duo Anggrek itu sekilas-sekilas saja dari radio, Status WhatsApp orang-orang dan TikTok.

Meski cuma dengar sekilas-sekilas saya hapal bait pertama "Cikini Gondangdia" dan ternyata saya tidak sendiri. Hapal lagu karena sering mendengarnya secara tidak sengaja juga dialami hampir semua orang. Ini dinamakan last song syndrome atau sindrom lagu terakhir.

Kemudian saya ingat dulu ibu mertua saya sering menyanyikan nursery rhymes Jawa seperti "Padhang Bulan", "Gundul-Gundul Pacul", "Menthok-menthok", "Cublak-cublak Suweng", "Sluku-sluku Bathok", "Lir Ilir", dan "Jaranan" saat anak-anak kami balita. Setelah masuk SD mereka sering jadi orang pertama di kelas yang hapal tembang dolanan sementara teman-temannya lebih hapal dangdut Jawa dan K-Pop.

Apa Itu Last Song Syndrome?

Last song syndrome merupakan fenomena umum yang sering terjadi pada siapa pun dimana sebuah lagu melekat, menyangkut, dan terngiang-ngiang di kepala seseorang lantas mengulang bagian atau lirik tertentu dari lagu itu.

Last song syndrome terjadi karena adanya paparan berulang baik yang disengaja atau tidak. 

Untuk menjadi catchy (berkesan karena enak didengar) dan memicu last song syndrome, sebuah lagu harus memiliki tempo yang cukup cepat dengan bentuk melodi yang sama dan interval atau pengulangan yang tidak biasa. Itulah yang ada pada lagu dangdut Jawa dan K-Pop sehingga bocah SD pun sudah hapal lagu dangdut dan K-Pop walau tidak tahu maknanya.

Genre dangdut dan pop sama-sama punya lirik sederhana yang disertai pengulangan serta irama yang easy-listening maka tidak aneh kalau punya lebih banyak penggemar dibanding rock, metal, hip-hop, dan jazz. Lagu anak tradisional pun sama. Liriknya pendek dan sederhana dengan pengulangan disertai irama yang enak didengar, sesuai studi yang dibuat oleh Department of Music di Durham University. 

Mengutip Medical Daily, para peneliti di Durham University mengungkap kalau lagu akan mudah diingat tergantung dari kandungan melodinya. Lagu mesti memiliki tempo yang cukup cepat dengan bentuk melodi yang sama dan interval atau pengulangan yang tidak biasa.

Kalau mengacu pada studi tersebut, maka lagu anak tradisional yang biasa dinyanyikan ibu mertua saya bisa disebut sebagai lagu yang catchy. Karenanya bisa memicu anak, remaja, orang dewasa, dan siapa pun mengalami last song syndrome.

Bila diterapkan secara tepat, last song syndrome bisa membuat anak dan remaja menyukai dan mendendangkan lagu-lagu tradisional yang pada budaya Jawa disebut dengan tembang dolanan.

Last Song Syndrome dan Earworm

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline