Lihat ke Halaman Asli

Yana Haudy

TERVERIFIKASI

Ghostwriter

Klitih Merajalela, Perkuat Fondasi Pola Asuh dan Pengawasan Keluarga Supaya Anak Tidak Berkonflik dengan Hukum

Diperbarui: 11 Maret 2023   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kekerasan pada remaja (gambar dari yogyakarta.kompas.com)

Kholik Sugiarto, warga Desa Blondo Kabupaten Magelang, sudah menerima penghargaan dari Polres Magelang pada 9 Maret lalu. Dalam hal ini polisi patut dipuji setinggi langit karena artinya korps baju coklat (walau cuma tingkat kabupaten) mengakui partisipasi warga dalam mencegah kejahatan jalanan alih-alih menjadikan mereka tersangka.

Buruk sangka masyarakat bahwa Kholik akan dijadikan tersangka muncul karena berkaca pada banyak kasus sebelumnya yang mana korban yang membela diri justru jadi tersangka karena membuat pelaku kejahatan mati ditangannya.

Semua pelaku kejahatan jalanan atau dalam bahasa Jawa disebut klitih (kliling golek getih-keliling cari darah), termasuk yang digagalkan Kholik, terbukti masih remaja.

Pada mulanya klitih adalah istilah keluar malam untuk berkegiatan guna menghilangkan kepenatan yang banyak dilakukan warga Yogya dan sekitarnya, termasuk Magelang dan Klaten. 

Jalan-jalan santai untuk menikmati suasana malam disebut nglitih. Namun lama-lama terjadi pergeseran makna. Klitih yang tadinya berkonotasi positif, sekarang jadi negatif yang disematkan untuk aksi kekerasan dengan senjata tajam di jalanan.

Mirisnya lagi, pelaku klitih semuanya pemakai seragam putih-abu-abu. Idealnya mereka sudah mulai menyiapkan diri menyambut masa depan setelah lulus. Entah kuliah, bekerja, buka usaha, atau jadi tentara dan polisi. Nyatanya malah jadi kriminil.

Mengapa remaja yang harusnya banyak belajar dan mencari pengalaman positif justru jadi pelaku tindak kejahatan?

Pola Asuh dan Pengawasan Anak

Saya sering melihat anak-anak SD yang sering bicaranya kasar seperti jancuk, asu, kon**l, bangsat, dan lain sebagainya. Kata-kata itu keluar dari mulut semudah mereka bernapas. Saya kemudian menemukan bahwa ternyata anak-anak itu mengikuti omongan orang dewasa di sekitarnya.

Ada yang dari tetangga, saudara, teman sepermainan, bahkan dari bapak kandungnya sendiri.

Inilah yang juga jadi alasan saya dan suami terpaksa membatasi anak kami main dengan anak tetangga. Para anak tetangga sering berkelahi, bicara kasar, dan gampang mukul. Saya dan suami membatasi pergaulan karena yakin kalau dibiarkan anak kami bisa terbawa perilaku negatif anak-anak tetangga tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline