Jika mengacu pada tujuan diberlakukannya sistem zonasi, label sekolah (negeri) unggulan mestinya tidak ada lagi karena seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) bukan berdasarkan tes masuk dan nilai, melainkan jarak rumah dan usia.
Namun, sistem zonasi baru diberlakukan sejak 2016 dan diterapkan di tahun ajaran 2017/2018.
Sementara itu, citra sekolah unggulan sudah terbentuk secara sistematis sejak puluhan tahun lalu. Sangat wajar bila label unggulan di satu sekolah tidak seketika lenyap hanya karena mereka tidak lagi menerima peserta didik berdasarkan seleksi akademis.
Pindah Domisili dan Titip Kartu Keluarga
Seorang mantan carik (sekretaris desa) yang sekarang bekerja di dinas pendidikan Kabupaten Magelang pernah mengatakan kalau banyak anak memilih sekolah -yang kebetulan unggulan- di kecamatan lain karena sekolah itu yang paling dekat rumah. Sekolah lain yang satu kecamatan jaraknya malah lebih jauh dari rumah si anak.
Alasan lainnya karena mutu sekolah yang ada di dekat tempat tinggal si anak tidak bagus. Makanya mereka pilih sekolah yang agak jauh, tapi mutunya bagus.
Apa kriteria sekolah bagus dan tidak bagus? Salah satunya dengan sering menang di kejuaraan tingkat kecamatan dan kabupaten. Sekolah yang cuma punya piala seiprit, apalagi tidak punya, dianggap bukan sekolah bagus.
Sekolah tidak bagus alias non-unggulan bukan berarti tidak laku. Peserta didik di sekolah mereka banyak juga, tapi kemampuan akademik peserta didiknya jauh di bawah sekolah unggulan.
Itu fakta menyedihkan dan bikin miris, tapi nyata.
Masih menurut pak mantan carik, cara yang banyak dilakukan orang tua supaya si anak bisa belajar di sekolah unggulan adalah dengan pindah domisili atau titip kartu keluarga (KK).
Maksudnya, setahun sebelum PPDB orang tua si anak mengontrak rumah di dekat sekolah. Dengan begitu alamat pada kartu keluarga pun berubah. Kenapa setahun, tidak enam bulan sebelumnya?