Kabar gembira datang di penghujung tahun ini, yaitu ditundanya Piala Dunia U-20 2021 ke tahun 2023.
Kok dibilang kabar gembira? Sedih dong. Kecewa berat karena stadion sudah disiapkan, panitia sudah dibentuk, dana sudah digelontorkan, dan tim nasional sudah menggeber latihan.
Itu dia. Selama ini timnas berlatih kalau ada perhelatan besar saja. Sehari-harinya belum ada pembinaan berkesinambungan untuk pesepak bola usia muda di klub dan dari PSSI selaku induk organisasi.
Siapapun penyuka bola pasti tahu belum adanya striker tajam pengganti Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa karena tidak ada regenerasi akibat tidak ada pembinaan dan kompetisi untuk pesepak bola usia muda.
Saya punya tiga orang teman yang saya kenal saat SMU pada akhirnya memilih bermain di luar negeri setelah lulus sekolah karena tidak dapat kepastian dari PSSI apakah akan dimasukkan ke tim nasional remaja atau tidak. Sekarang ketiganya masih di luar negeri dan bekerja di bidang persepakbolaan, dua diantara mereka sudah pindah kewarganegaraan.
Hal serupa berlanjut sampai sekarang, yakni ketiadaan pembinaan dan kompetisi untuk pesepak bola usia muda. Pemain muda yang direkrut klub sangat jarang diturunkan berlaga sehingga kekurangan jam terbang dan akhirnya mandul.
Hal inilah yang mendorong PSSI menerapkan National Club Licensing System sejak 2019 lalu. Ada bagian dari peraturan itu yang menyebutkan bahwa selain tim utama, klub yang bertanding di Liga 1 harus punya tim U-16, U-18, U-20, dan tim putri.
Club Licensing System (CLS) diadopsi PSSI dari AFC yang mana AFC mengadopsinya dari FIFA.
Tujuan klub harus punya tim selain tim utama adalah untuk regenerasi. Di Eropa pun begitu, ketika tim senior bertanding, tim juniornya juga bertanding melawan klub yang sama dengan klub senior. Misal, ketika Persija tanding melawan Persib, maka tim junior Persija juga tanding melawan tim junior Persib.
Lapangan yang digunakan tim junior tidak perlu sebagus tim senior, menggunakan lapangan sekelas tarkam, untuk sementara, bisa saja.