Siapa yang tidak tahu film Laskar Pelangi, Hafalan Shalat Delisa, Filosofi Kopi, Bumi Manusia, Ayat-ayat Cinta, sampai yang heboh film Dilan. Apa persamaan semua film tersebut? Semua diadaptasi dari buku laris karya novelis kenamaan.
Tentu saja yang namanya adaptasi apa yang dikisahkan dalam film tidak bisa selalu sama seperti novel.
Seperti di film Dilan, tokoh Wati (teman sekelas Milea sekaligus sepupu Dilan) tidak selucu dan se-Sunda seperti di novel.
Film populer lain seperti Crazy Rich Asians juga banyak perbedaan dari yang tertulis di novel. Salah satunya pada keluarga Nick Young. Keluarga Young punya keluarga besar yang rumit dan masing masing punya cerita yang terhubung melalui alur yang saling menyatu dari yang kita lihat di film. Pun Rachel Chu pergi ke Singapura saat di New York sedang musim panas bukan musim semi.
Memangnya tidak boleh nonton filmnya dulu kemudian baca novelnya? Boleh saja. Nonton filmnya tanpa baca novelnya? Boleh banget!
Tapi jika Anda gemar nonton film yang diadaptasi dari novel, maka jika perlu baca novelnya lebih dulu karena gambaran fisik dan karakter tokoh-tokoh, alur cerita, dan setting lokasi kita gambar sendiri di imajinasi yang kita bentuk sesuai tulisan pada novel.
Ketika ternyata filmnya perlihatkan hal berbeda, imajinasi kita akan menyesuaikannya. Kita bisa menikmati film meskipun sudah tahu jalan ceritanya.
Sebaliknya, kalau lebih dulu menonton filmnya sebelum baca novelnya, alih-alih menikmati novel, pikiran kita akan terus membandingkan isi novel dengan apa yang sudah kita lihat di film. Kita jadi tidak menikmati isi novelnya.
Kenapa begitu?
Pertama, tokoh-tokoh dalam film selalu divisualkan lebih menarik dari versi novelnya. Sebagai contoh, pada film Hunger Games, tokoh Katniss tinggi, cantik, dan bersih. Padahal di novel Katnis berbadan kecil, kurus, dan kotor karena berasal dari distrik termiskin di negara Panem.
Latar belakang dan karakter tokoh dalam film pun tidak serumit dalam novel.