Orang-orang di kota besar yang tinggal di perumahan tidak bisa kemana-mana tanpa kendaraan pribadi. Ini lumrah, karena angkutan umum memang tidak bisa menjangkau perumahan yang jarak gerbang masuknya ke jalan raya saja jauhnya berkilo-kilo meter. Jadi semua rumah harus punya minimal satu mobil dan satu motor untuk mobilitas sehari-hari, apalagi di Jakarta, punya dua-tiga mobil dalam satu rumah adalah hal lumrah.
Maka diadakanlah bus Transjakarta, MRT, dan LRT sebagai transportasi massal supaya orang tak melulu pakai mobil pribadi. Tiga transportasi umum ini juga mulai menggantikan keberadaan angkot, Kopaja, dan Metromini yang pada masa lampau pernah jadi "raja jalanan". Bahkan Jakarta punya Bajaj, angkutan yang sanggup menyelip dan menyalip di jalanan saat kendaraan lain tak mau melakukannya (dari situlah berasal istilah: suka ngeles kayak Bajaj).
Jika di Jakarta transportasinya sudah moderen, yang terjadi di banyak daerah lain justru sebaliknya. Hampir tidak ada angkutan umum karena angkot dan buskota jumlahnya sudah sangat sedikit, karena itu orang lebih banyak menggunakan ojek untuk mobilitas sehari-hari. Tapi ojek tidak bisa dibilang sebagai transportasi umum karena hanya bisa mengangkut satu penumpang, meskipun orang jadi lebih cepat sampai tujuan dan dapat pergi ke pelosok dusun terpencil yang tidak bisa dijangkau angkutan lain.
Jika tidak dengan ojek, orang banyak yang menggunakan motor sendiri. Akhirnya angkot dan buskota jadi berkurang peminatnya.
Penumpang yang sedikit membuat pengusaha angkot dan buskota mengurangi armadanya untuk menghemat pengeluaran bahan bakar.
Karena angkot dan buskota makin sedikit, orang jadi tidak bisa lagi mengandalkannya sebagai angkutan yang cepat dan efisien.
Bayangkan jika mau ke pasar yang jaraknya empat kilo saja harus menunggu selama setengah jam sebelum angkot datang. Lalu pulangnya menunggu setengah jam lagi duduk dalam angkot karena sopirnya tidak akan jalan kalau penumpangnya belum banyak. Habis waktu satu jam hanya untuk menunggu angkot dan bus. Maka hilanglah angkot dan buskota dari peredaran.
Hilangnya alat transportasi umum ini secara kasat mata memang tak masalah. Tapi sebenarnya merugikan masyarakat yang tidak punya mobil atau yang hanya punya satu motor. Bagaimana mereka bepergian satu keluarga sementara menyewa taksi terlalu mahal? Kalau ada buskota atau angkot, hanya bayar Rp5b per-orang sudah bisa bepergian bersama-sama.
Ketiadaan angkutan umum lalu membuat para pelajar merengek minta dibelikan motor supaya mudah pergi dan pulang dari sekolah. Anak SD pun sudah pakai motor di jalanan, meski ini berbahaya dan melanggar peraturan karena umur untuk memiliki SIM C minimal 16 tahun. Kalau angkutan umumnya banyak, mudah didapat, dan aman, orang tua tentu tenang melepas anak mereka ke mana-mana dan tidak terbebani harus membelikan motor.
Ketiadaan angkutan umum juga membuat para istri merengek minta dibelikan satu motor lagi untuk antar-jemput anak, ke pasar, arisan, ke tempat senam, atau ke salon. Suami yang gajinya hanya enam digit itu pun kepayahan mencicil lagi satu motor untuk istri tercinta.
Sebenarnya mudah bagi tiap pemerintah daerah mengatur transportasi umum di wilayahnya. Transportasi umum yang nyaman, aman, dan mudah sangat dibutuhkan masyarakat di kota manapun mereka berada. Hanya soal kemauan saja.