Lihat ke Halaman Asli

Aji Mufasa

TERVERIFIKASI

Engineer | Agropreneur | Industrial Designer

Rangkap Jabatan Pejabat Pemerintah: Pelanggaran Aturan atau Masalah Etika?

Diperbarui: 15 Maret 2023   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (Hernuyanto) Kompas.id

Ketika saya membaca berita di pagi hari, Tahu yang menjadi berita utama? Kebanyakan dari kita pasti akan menemukan berita tentang pejabat pemerintahan yang terlibat dalam skandal korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Namun, bagaimana jika saya katakan bahwa di balik skandal-skandal tersebut terdapat sebuah persoalan etika yang sebenarnya lebih mendasar?

Di Indonesia, persoalan rangkap jabatan dalam pejabat pemerintahan menjadi sebuah isu yang kian hangat dibicarakan. Apalagi pemberitaan sekarang-sekarang ini. Ketika satu orang menjabat beberapa posisi dalam waktu yang bersamaan, hal tersebut menimbulkan konflik kepentingan dan menimbulkan keraguan terhadap kinerja dan integritas pejabat tersebut. Namun, persoalan rangkap jabatan ini tidak hanya berupa pelanggaran aturan semata, melainkan juga berkaitan dengan masalah etika.

Sebagai masyarakat yang menghargai kejujuran dan keadilan, kita harus berani mengajukan pertanyaan tentang etika dalam rangkap jabatan. Apa yang membuat pejabat pemerintahan merasa perlu untuk mengambil beberapa posisi dalam waktu yang bersamaan? Bagaimana hal tersebut mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintahan? Mari kita telaah bersama-sama persoalan rangkap jabatan dalam pejabat pemerintahan dan mengungkap masalah etika yang mendasar di baliknya.

Rangkap jabatan, secara sederhana dapat diartikan sebagai menjabat lebih dari satu posisi dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi, rangkap jabatan dapat memudahkan pejabat dalam mengkoordinasikan pekerjaannya, namun di sisi lain, hal tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan, pengambilan keputusan yang tidak obyektif, serta penurunan kinerja.

Contoh kasus rangkap jabatan di Indonesia pun terus berkembang. Ada pejabat pemerintahan yang menjabat sebagai kepala daerah dan anggota dewan, pejabat pemerintahan yang menjabat sebagai Menteri dan CEO BUMN, bahkan ada pejabat yang menjabat beberapa posisi strategis di beberapa perusahaan milik pemerintah secara bersamaan. Dalam banyak kasus, rangkap jabatan diisi oleh pejabat yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa, sehingga keputusan-keputusan yang diambil bisa saja tidak adil dan transparan.

Namun, persoalan rangkap jabatan tidak hanya berupa pelanggaran aturan semata, melainkan juga berkaitan dengan masalah etika. Menjabat beberapa posisi strategis di waktu yang bersamaan dapat menimbulkan konflik kepentingan, di mana pejabat cenderung memprioritaskan kepentingan diri atau kelompoknya. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan secara keseluruhan.

Sebagai masyarakat yang menghargai kejujuran dan keadilan, kita harus berani menanyakan persoalan rangkap jabatan dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi etika dalam pemerintahan. Perlu diingat, bahwa dalam sebuah negara, pemerintah adalah pelayan rakyat, yang bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang diambil demi kepentingan publik. Oleh karena itu, rangkap jabatan bukanlah sebuah pilihan yang tepat dalam pemerintahan, terlebih jika hal tersebut melanggar aturan dan prinsip-prinsip etika yang diperlukan dalam memimpin sebuah negara.

Implikasi dari rangkap jabatan pada kinerja pejabat pemerintahan dapat sangat signifikan. Pejabat yang menjabat beberapa posisi strategis dalam waktu yang bersamaan seringkali kekurangan waktu dan sumber daya untuk fokus dan memperhatikan tugas dan tanggung jawab mereka dengan optimal. Sebagai akibatnya, kinerja mereka cenderung menurun dan tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Transparency International pada tahun 2020 menemukan bahwa sekitar 25 persen pejabat pemerintahan yang menjabat beberapa posisi strategis di waktu yang bersamaan cenderung melakukan praktik korupsi dan nepotisme. Hal ini terjadi karena adanya konflik kepentingan antara posisi-posisi yang mereka jabat, sehingga mereka lebih memilih untuk memenuhi kepentingan kelompoknya daripada memenuhi kepentingan publik.

Contoh nyata dari implikasi rangkap jabatan dapat dilihat dari kasus Bank Century di Indonesia pada tahun 2008. Saat itu, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, juga menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Century. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan, di mana Goeltom cenderung memprioritaskan kepentingan Bank Century daripada kepentingan publik. Sebagai akibatnya, Bank Century terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline