Lihat ke Halaman Asli

Pak Djohan dan Rumah Baru Buku Lawas Eks Kwitang

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1354529063451869822

Adakah teman yang tahu, kemana para pedagang buku Kwitang pergi?

Sampai 24 jam yang lalu, aku sama sekali tak punya 'clue'.

Tapi kemarin, potongan dunia yang bagiku penting itu, balik lagi ke hidupku.

@@@

Kemarin aku ke Blok M Square, untuk berburu warung kopi Aceh yang diceritakan temanku. Rencanaku, ngopi, bikin riset sedikit (nanti aku share di cerita lain), lalu pulang. Semua rencana kacau. Aku pulang lebih lambat dari yang aku rencanakan dan mengacak-kadulkan budget yang sudah dirinci, ‘gara-gara’ kepincut lantai ground yang dihuni komunitas Eks Kwitang. Ternyata ke sinilah mereka bedol desa. Lebih dari tiga jam aku berenang-renang di dunia Pak Yos John Preky (namanya digantung olehnya di atas kartu bergambar gadis Eropa. Please lihat gambar), Mas Ipung yang punya kios bernama Bumi Nusantara, Mas Bagus yang seperti ensiklopedia berjalan, dan Pak Djohan.

@@@

Yang kusebut terakhir ini adalah sesepuh komunitas ini. Sebelum kemari (5 tahun di sini) ia telah 27 tahun berdagang di Kwitang, lalu berputar-putar, setahun di penampungan, di Senin, dan beberapa tempat lain, sebelum akhirnya berumah di Blok M. “Saya ikut berjuang lama untuk mempertahankan agar kami tidak dipindah dari Kwitang. Bahkan sampai ke kantor gubernur segala. Sebetulnya kan tidak terlalu mengganggu, kan disana tidak macet. Hanya saja memang mengganggu pandangan mata banyak pejabat yang melalui daerah tersebut”, tutur Pak Djohan tanpa seguratpun kesan pahit. Menurut beliau ada kurang lebih 130 kios yang akhirnya berpindah kemari.

"Apakah cukup laris?" tanyaku. "Yah, dibandingkan dengan Kwitang, jauh lah mbak... Tapi saya masih selalu optimis". Aku terkagum-kagum karena September lalu usianya sweet seventeen terbalik (istilahnya sendiri) alias 71 tahun. Dan semangatnya masih berkobar-kobar. Kharisma sekaligus kerendah-hatiannya terasa. Aku tahan berjam-jam mendengarkan cerita beliau yang disampaikan dengan sederhana ini.

Contohnya ini, cerita mengenai terjualnya 60 buah buku Ensiklopedia Filsafat (entah Britanica atau Americana, ia lupa) di tahun 80-an, yang harus diangkut pakai vespa tuanya. "Wah, seru, depan, muka belakang, penuh buku yang dipak" Pak Djohan mengingat-ingat. Ia berboncengan dari Tebet tempat tinggalnya ke tempat janji bertemu dengan pembelinya, di depan apotek Titi Murni. "Dulu di situ ada warung kopi Al Furqon, tahu kan?" (Aku mengangguk cepat-cepat supaya cerita berlanjut). Cerita ini memang jadi istimewa karena penjualnya juga spesial, Pak Jose Rizal Manua - penyair, seniman teater yang juga pemilik toko buku di Taman Ismail Marzuki. "Saat itu dia baru muncul di televisi. Dia telpon saya 'nih, saya baru terima honor 370 ribu, 100 ribu buat istri, 100 ribu buat anak buah. Saya ada sisa 170 ribu nih. Kalau mau, ini buat ensiklopedia filsafat itu"...Lanjut pak Djohan "Nah, kebetulan saya lagi butuh duit, ya saya langsung cepat-cepat bungkus deh tu buku-buku". Beliau tertawa-tawa mengenang masa-masa indah itu.

@@@

Pak Djohan asli Minangkabau, tapi hanya pernah menginjak tanah leluhurnya itu selama setengah hari dalam hidupnya, saat kakaknya meninggal dunia. Bahasa Jawanya, Sunda dan berbagai dialek, luwes dimainkannya. Tapi ia menegaskan, Minang tetap jatidirinya. Ini yang kudeteksi pada dirinya, keyakinannya akan siapa dirinya. Pekerjaan sebagai broker buku bekas, kulihat dikuasainya dalam. "Pak, saya sedang mengkoleksi buku Prof. Sartono Kartodirdjo, bapak punya gak?"... Jawaban beliau sungguh lancar, "Pemberontakan di Banten ataukah Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia?" Bukan hanya judul, isinya pun fasih dibahasnya. Beliau menceritakan betapa dulu di antara pelanggannya ada Mr. Sunaryo, Adam Malik, Suryono Sukanto, HB Jasin dan banyak nama besar lain. Beliau sudah agak lupa ketika diminta mengulang, tapi koleganya yang lebih muda, pemilik kios tetangga (aku lupa namanya), dengan tangkas menyambung "Leka Marzuki (?) wakil ketua MK zaman Jimmy Siddiq (?).." Nama2 ini asing bagiku, dan pun tak tertangkap jelas di telingaku. Tapi aku terkesan dan menanyakan, dari mana tahu, karena ia masih muda tampaknya. Ia menjawab: "Pak Djohan mengajari kami banyak hal. Banyak yang puluhan tahun telah bergaul bersama dengan beliau."

@@@

Koleganya, pedagang lain yang lebih muda2 dibanding beliau ikut ngeriung ngobrol. Sesekali aku minta izin memotreti, mencoba merekam momen ini. "Saya biasanya gak mau mbak, dipotret. Saya bilang, eeeh, itu kan ada hak ciptanya. Tapi entah kenapa sama mbak Yana kok saya gak keberatan". Mas Bagus, tetangga yang berjualan di seberang lorong, nyeletuk: "Itu persoalan nyaman dan ndak nyaman. Sekarang ini beliau merasa nyaman".

Mas Bagus, dan teman-temannya mengakui bahwa Pak Djohan adalah pembimbing, suhu mereka. Pak Djohan hanya senyum-senyum mendengar ia dianggap mentor. Tapi aku percaya yang dikatakan mereka betul. Ada dua insiden yang mungkin sekali adalah indikator kebenaran ucapan mereka. Satu, setelah aku beli beberapa buku dari beliau, dia dengan halus mengarahkan aku untuk membeli buku lain yang aku cari di tempat tetangga2nya. Rezeki rupanya tak ingin dia 'peluki' sendirian. Kedua, anak2 muda pemilik kios lain menunjukkan perilaku mirip beliau, membantu pembeli, mendengarkan, tak hanya asal buku terjual. Dan terlebih-lebih begitu begitu menguasai dunianya. Bukan hanya penulis dan penerbit, tahun penulisan, topik, disiplin ilmu, cabang-cabangnya, topik-topik khusus, peneliti, tahun penerbitan dst., khatam mereka lahap.

Misalnya waktu aku menimbang-nimbang ingin membeli buku tua "History of Jakarta"nya Susan Abeyasekere, yang mahal banget, Mas Bagus menawarkan solusi, "kalau yang ibu perlukan adalah isinya, maka tidak usah beli yang ini, beli saja yang telah diterjemahkan oleh Komunitas Bambu. Tak sampai duaratus ribu kok bu. Memang gaya menterjemahkannya berbeda, para intelektual lebih suka terjemahan jadul ini". Berhubung aku tidak merasa intelektual akupun puas dengan terbitan Komunitas Bambu saja. Wah, aku seperti sedang pergi ke dokter spesialis yang sanggup memindai kebutuhanku dan mencari jalan keluar. Hmmmm.... berintegritas pula, tak hanya asal bisa menjual. Intuisiku bilang ini value diantara banyak lainnya yang ditularkan oleh Pak Djohan ke generasi penerus.

@@@

Sebelum aku bertemu mereka, kupikir berjualan buku second hand itu sub bagian dari berdagang. Tapi Pak Djohan dan 'murid-murid’nya menyadarkanku bahwa aku mungkin salah. Lebih dari berdagang, para penjual ex Kwitang ini memaknai profesinya berbeda. Berbelas, berpuluh tahun mereka dikelilingi jutaan kata-kata yang ditulis oleh banyak orang baik yang masih hidup atau almarhum. Pengetahuan dan wisdom dari pikiran orang2 ini membentuk alam pikiran mereka. Buku2 juga bukan sekedar dipajang dan dijual tapi juga dicintai, dirawat, dan dibaca!! Ini penting, karena, lebih dari sekedar menjual, bapak-bapak ini seperti laiknya dokter atau lawyer memberi advis, tips, solusi, konsultasi kepada calon pembeli sebelum akhirnya buku berpindah ke rak pemilik baru.

Mudah-mudahan aku gak geer, tapi waktu aku menaiki tangga meninggalkan lantai itu, aku punya intuisi kuat bahwa aku dapat teman-teman baru.

[caption id="attachment_219497" align="aligncenter" width="406" caption="searah jarum jam, kanan atas: Pak Djohan, kartu bertuliskan nama Pak Yos Jhon Preky, Pak Yos Jhon sendiri, lalu kiri atas, Mas Bagus."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline