Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Betawi Punya Siapa

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh Yanwardi Natadipura

Abstrak

Tujuan makalah ini adalah menimbulkan rasa kecintaan pada salah satu identitas budaya Betawi, yakni bahasa Melayu dialek Betawi (selanjutnya saya sebut bahasa Betawi ).Jika telah ada sikap cinta itu, bisa diduga akan lahir upaya dan sikappositifdari penuturbahasa Betawi. Dari yang paling sederhana di peristiwakeseharian, misalnya, penggunaan bahasa Betawi dalam keluarga hingga yangmemerlukankonsep-konsep akademis seperti penelitian sosiolingustik atas basis-basis wilayah penutur bahasa Betawi.Pada akhirnya-- bila kita mencintai sesuatu, kita akan menjaga, merawat,d an melestarikannya. Sebaliknya, ada kehilangan besar, jika sesuatu yang kita cintai itu “sakit”,apalagi mati. Lebih jauh,budaya yang ditopang oleh bahasa itu akan mengalami ketergangguan danakhirnya bisa hilang pula.

Dari sisi teoretis,tujuan sampingan makalah ini,“mengundang” penelitian-penelitian sosiolinguistik lainnya,terutama yang berkaitan dengan perencanaan dan pembinaan bahasa (Betawi).

Asumsi dasar yang diangkat adalah keberlangsungan hidup suatu bahasa bergantung padakita, penuturnya.Daliltersebut kini memang lebih terterima dalam dunia sosiolinguistik (lihat Gunarwan2006) ketimbangdalil bahwa bahasa seperti organisma, memiliki rentang hidup tertentu.

Mengingat jenis forum,tujuan yangberkaitan dengan manfaat praktis tentunya lebih diharapkan ketimbang manfaat teoritisnya.Sebab itu, diharapkandengansemakin menguji“kekuatan” asumsi itu, muncul kesadaran dari para penuturyang pada gilirannya akan menimbulkan(meningkatkan) rasa kecintaaan pada bahasa Betawi. Memang ada beberapa faktor lainnya yang menentukan berlangsungnya hidup suatubahasa, antara lain, jumlah penutur .Namun, beberapa kepustakaan dan penelitian terakhir kian memperlihatkan jumlah penutur bukan faktor mutlak yang menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa, justru sebaliknya, makin memperkokoh asumsi di atas (lihat Sumarsono 1990; Gunarwan 2006; Basuki Suhardi 2011).

Padaakhir makalah, saya usulkan beberapa saran tindakan berkaitan dengan“pelestarian” bahasa Betawi.

Gambaran Umum

Sudah beberapa tahun terakhir ini, di kota kelahiran saya, Bogor,saya menemukan peristiwa sehari-hari yang berkaitan dengan sikap penutur bahasa daerah (Sunda).Pada awalnya saya takacuh. Tapi,karena peristiwa ini terjadi hampir setiap saya menumpang angkot,lama-kelamaan timbulrasa kurang enak dalam hati saya.

Ada dua jenis peristiwanya. Pertama, kala diangkutan umum beberapa kali sayamelihat dan mendengar seorang ibu mudasaat bercakap-cakap dengan anaknya, usia balita, menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, sebelumnya ibu ini berbicara dengan bahasa daerah (Sunda) ketikamenyapa rekan seperjalannya, yang berusia sebaya, entah temannya, entah adiknya, saya tidak bertanya. Dalam benak saya, waktu itu, jauh dari teori-teori sosiolinguistik: alih kode, kebocoran diglosia,atau mungkin dalil siapa yang diajak berbicara. Yang ada dalam benak saya,bagaimanaandai penutur bahasa Sunda lainnya bersikap seperti ibu muda itu. Konkretnya, bagaimana nasib bahasa Sunda ke depannya kalau bahasa Sunda dalam ranah keluarga saja sudah digantikan oleh bahasa Indonesia? Kejadian tersebut tidak saya alami satu dua kali, melainkan selalu.

Kedua,saya alami kejadian lainnya yang berkaitan dengan sikap bahasa dari seorangpenutur bahasa Sunda lagi. Dalam suatu peristiwa tutur, yang terdiri atas beberapaorang penutur asli dan satu orang bukan penutur asli tetapi lahir di Bogor(sehingga menguasai bahasa Sunda dengan baik), salah seorang yang penutur asli “anehnya”secara konsisten memakai bahasa Indonesia kala berbicara dengan partisipan yang bukan penutur asli itu. Dia akan menggunakan bahasa Sunda kembali jika bercakap dengan rekan bicaranya yang“benar-benar” beretnis Sunda.Padahal, tuturan itu berlangsung dalam satu peristiwa dan para peserta tutur (karena keakraban sehari-hari) mengetahuibahwa seluruh peserta tutur mengerti bahasa Sunda. Sama dengan kejadian pertama, pengalaman kedua ini sering saya jumpai sehari-hari. Artinya,penutur yang bersikap begitu bukan hanya satu dua atau kekecualian.Entah motivasi apa yang membuatpenutur mengganti-ganti kode dalam satu peristiwa tutur itu. Bisa karena menghormati, bisa karena gengsi, atau bisa pula karena ingin memperlihatkan bahwa dia mampu berbahasa Indonesia. Apa pun motivasinya, dipandang dari sikap bahasa, penutur tersebut dikatakan bersikap negatif pada bahasa Sunda.

Bergerak dari situ, saya akhirnya menanyakan secara langsung kepada beberapa pasangan muda di lingkungan saya dan teman-teman saya, di Bogor,Jawa Barat.Saya ajukan kepadatiga pasangan usia(40-45 tahun, yang kedua orangtuanya sama-sama juga berasal dari suku Sunda)pertanyaan, “pakai bahasa apa di rumah”. Ketiganya menjawab, “bahasa Indonesia”. Begitu pula ketika pertanyaan yang sama saya tujukan pada pasangan penutur asli bahasa Sunda usia lebih muda (20-25 tahun), jawabannya sama pula: “pakai bahasa Indonesia”.Lagi, lepas dari faktor mengapa mereka memakai bahasa Indonesia alih-alih bahasa ibunya,tampak di sini muncul sikap bahasayang negatif dari penutur bahasa. Terjadi pula kebocoran diglosia di sini.

Berkaitan dengan topik tulisan ini, beberapa hari terakhir saya juga menanyakan kepada kenalan-kenalan saya yangdi Jakarta, yang saya tahu lahir di Jakarta, orangtuanya pun lahir di Jakarta, mengaku etnik Betawi, usia antara 30-40 tahun. Baru tiga pasangan yang saya tanya. Hasilnya: dua pasangan menjawab memakai bahasa Indonesia. Satunya lagi: bahasa Betawi. Lebih baikkah sikap para penutur bahasa Betawiketimbangsikap penutur bahasa Sunda di Bogor. Agaknya terlalu dini menyimpulkan demikian. Perlu penelitian yang mendalam dan bukan maksud dari penulisan makalah ini.

Saya hanya ingin memperlihatkan urgensi lain dari pengamatan sekilas itu, yaitu perlu adanya kajian pemertahananbahasa dalam bahasa-bahasa bersangkutan.Dalam tulisan ini, seperti yang saya siratkan di atas,hanya akan disoroti pentingnya sikap dari penutur bahasa dalam keberlangsungan hidupnya suatu bahasa.

Dalam pada itu, sikap anak-anak muda, sebagaimana disinyalir oleh ahli bahasa Prof. Edi Subroto,Cecep Sobarna (2006), dan Wilasa (1996),di kota-kota besar kurang mendukung pemakaian bahasa daerahnya. Mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia ragam lisan dalam kehidupan sehari-hari pada ranah pergaulan. Lagi, di sini kita melihat sesuatu yang berkaitan dengan penuturnya sendiri. Sikap inilah yang diduga menjadi salah satu sebabmulai terjadinya pergeseran bahasa daerah (oleh bahasa Indonesia). Tanpa harus saling tunjuk, di mana ihwal penyebab utama sikap negatif ini, lebih baik dan dewasa, kita memulai sikap positif dari orang per orang agaknya.

Dari uraian-uraian tersebut,ada yang lebih hakiki,yakni rasa cinta dari penutur terhadap bahasanya mulai diragukan.Mungkin mereka tidak sadar atau memang dengan sadar meninggalkan rasa cinta. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah dan memunculkan (kembali) sikap itu. Patut dicatat,tulisan ini tidak berangkat dari hipotesis bahwa bahasa Betawi saat ini sedang “terdesak”. Sebagaimana diutarakan sebelumnya,perlu penelitian khusus untuk sampai pada kesimpulan tersebut.

Bahasa dan Budaya

Bahwa antara bahasa dan budayamemiliki keterkaitan erat sudah menjadi pengetahuan bersama. Sering dalam tulisan-tulisan tentang bahasa yang sedang “sakit”, yang sedang terdesak, atau yang diduga tengah terancam punah, diangkat ihwal “matinya sebuah bahasa berartihilang pula salah satu pilar utama budaya etnik tersebut” (lihat, misalnya, Cecep Sobarna , 1996; Comrie, 2003; Lauder 2011). Namun, sesungguhnya, ada yang yang lebih mendasar daripada itu.Grondona (dalamLauder, 2011) menyatakan ada sejumlah nilai budaya yang berperan mendukung kebangkitan sebuah bangsadan membantu mempertahankan kemajuan yang diraih itu.Pendapat ini senada dengan pandangan Huntington, yakninilai-nilai budaya ,simbol-simbol budaya , termasuk implementasi budaya mendukung dan menjaga kemajuan yang diraih.Dari pendapat para mereka, tersiratkan suatu bangsa, bangkit dan terpuruknya, ditentukan oleh budayanya, bukan melulu kekuatan politik dan geografinya. Lalu,apa benang merahnya dengan bahasa? Lewat bahasalah, kita menurunkan nilai-nilai budaya dan lewat bahasa pula kita merunut nilai-nilai budaya apa saja yang positif, yang membuat suatu bangsa bisa bertahan dalam hempasan badai. Bisa dibayangkan, tanpa bahasa kita tidak akan mampu melakukan sesuatu yang vital bagi kelangsungan hidupsuatu (suku) bangsa dalam jangka panjang.

Kondisi Bahasa Daerah di Kota Besar Indonesia

Beberapa dasawarsa yang lalu Edwards (1985, lihat pula Basuki 2011) mengemukakan bahwatumbuhnya bahasa resmi dan bahasa negara di kawasan Asiayang mengiringi kemerdekaan suatu negara , sering memunculkan masalah baru, yakni bahasa ini dianggap mendesak keberadaan bahasa daerah, bahasa etnik, bahasa minoritas.

Gejala kebahasaan tersebut agaknyaterasa pula di Indonesia, bahkan seiring pergerakan waktu makin kentara. HarianKompas (14 Februari 2007) melaporkan bahwa sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah dan hanya tiga belas bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta, yaitu bahasa Jawa, Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makasar, Banjar, Bima, dan Sasak. Bahkan, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta atau hanya tinggal puluhan penutur saja. Di antaranya

bahasa di daerah Halmahera dan Maluku yang jumlah penuturnya sangat terbatas. Tampak bahwayang dijadikan parameter memang hanya jumlah penutur.Bisa jadi masalah akan lebih kompleks andai dilihat pula faktor lainnya, semisal sikap penutur, geografi, dan sosial-ekonominya.

Saat ini, apa yang dialami bahasa Betawi nyaris sama denganapa yang dialami oleh bahasa-bahasa daerah di kota-kota besar Indonesia lainnya.Setiap bahasa daerah hampir pasti “berhadapan” dengan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing (Inggris). Tidak jarang“keresahan”tersebut muncul dalam tulisan-tulisan para linguis (lihat Sumarsono 1990; Sobarna 2006; Gunarwan 2006 ). Dalam kongres-kongres bahasa daerah, selalu terdengar pula kekhawatiran paralinguis, pemuka masyarakat, dan pemuka adat akan punahnya bahasa daerah. Bahkan,tiga tulisan mutakhir dari tiga guru besar FIB UI, yakni Prof.Anton M. Moeliono (2011), Prof.Basuki Suhardi (2011), dan Prof. Multamia Lauder (2011) juga menyuarakan kekhawatirannya atas keterdesakan bahasa daerah oleh bahasa Indonesia.

Tambahan lagi, kota Jakarta,wilayah yang secara administratif dan historis merupakan tempat penutur bahasa Betawi, memiliki masalah geografi, demografi,dan sosial-ekonomi yang lebih kompleks.Sebagai ibu kota negara dan pusat pembangunan, kehadiran aneka etnis dari berbagaidaerah Indonesia lainnya tidak bisa dihindari.Jadilah, penduduk kota Jakarta multietnis. Tanpa kehadiran etnis lain pun,dalam wilayahpenutur bahasa daerah bisa terjadi bilingulisme. Bilingualisme akan membawa kepada situasi diglosik: yangpasti –karena peran dan fungsnya-- bahasa Indonesia akan diasosiasikan pada ranah tinggi(digunakan dalam pemerintahan, pendidikan,administrasi umum) dan bahasa daerah diasosiasikan dengan ranah rendah (pertemanan, keluarga). Lebih jauh, akan timbul penafsiran subyektif dan psikologis: bahasa Indonesia bergengsi; bahasa daerah tidak di masyarakat (lihat pula Gunawan, 2006).

Bahasa BetawiSaat Ini: Selayang Pandang

Tak bisa dimungkiri,secara geografis, karena derasnya pembangunan dan konsekuensi industrialisasi di kota Jakarta,etnik Betawi kini semakin tergeser ke pinggiran.Alhasil, persebaran bahasa Betawi melebihi batas administrasinya, hinggaterkadang berada di wilayah provinsi lainnya.Di selatan Jakarta, menurut pengamatan saya, sudah mencapai daerah Bojonggede,Jawa Barat. Lihat pula untuk catatan ini dalam Fahrizal (2001).

Secara linguistis, bahasa Betawi sering dipandang atau disederhanakan oleh masyarakatawam (umumnya etnik lain), sebagai bahasa yang identik dengan “elu” dan “gue”.Tentu itu suatu pandanganyang terlalu simplistis, tetapi membuat bahasa ini dipersepsikan “salah”, yaknibahasa Betawi merupakan bahasa yang kasar. Ihwal“premis” ini tentunya juga bisa diperdebatkan secara gramatikal.Di luar masalah itu, pada beberapa kasus,persepsi ini membuat tersendatnya transmisibahasa Betawi di lingkungan keluarga.Fakta ini saya dapat dari omong-omong dengan beberapa keluarga Betawi , yang tidak menggunakan bahasa Betawi dalam keluarganya dengan alasan bahasa itu kasar: mengandung “elu” dan “gue”.

Seperti disiratkan di atas, karena berbagai keistimewaannya, Jakarta sejak zaman setelah kemerdekan diserbu banyak kaum urban dari berbagai etnis nusantara.Para pendatangmultietnis ini jika berkomunikasiantaretnis menggunakan bahasaBetawi .Dalam Fahrizal (2002:3), menurut beberapa penelitian (Chaer 1976; Muhadjir 1984; Ikranegara 1988; Shahab 1994) para urban yang menuturkan bahasa Betawi semakin hari semakin banyak. Bersamaan dengan itu, terbentuklah bahasa Betawi modern (Wallace 1977 dalam Fahrizal 2002). Menurut Fahrizal, bahasa inilah yang kini tengah berproses menjadi bahasa pergaulan di Jakarta.Saya melihat varian ini pula yang kini sering dipakai oleh para penyiar-penyiar radio dan anak-anak muda di kota besar di Indonesia. Selain hilangnya vocal /e/ pada suku terbuka terakhir dankosakata asli Betawi,bahasa “pergaulan” ini berbeda dalam hal intonasi dengan bahasa Betawi(etnis).

Sementara itu,seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan lingkungan, kosakata khas Betawidiramalkan hilang dan akhirnya akan mengambil kata-katadari bahasa Indonesia atau bahasa asing untuk merujuk pada konsep-konsep yangtidak ada dalam“alam” Betawi. Fenomena ini merupakan sesuatu yang logis dan universal, berlaku untuk bahasa mana pun.

Karena pelbagai keistimewaannya pula, sejak dahulu, bahasa Betawimenarik minat banyak bahasawan dan antropolog. Beberapa karya pada abad ini bisa disebutkan :Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya (Muhadjir, 2000) dan dua tesisdari UI, yakni “Penggunaan dan Identitas Etnik” (Fahrizal, 2001) dan “Penilaian Kepatutan Penggunaan Pronomina Persona Gue dan Elu di Kalangan Kelompok Dosen dan Mahasiswa Universitas Indonesia, Depok” (Dhyah Utami, 2002). Di luar ketiga karya itu, tentunya masih banyak. Semuanya membuktikan bahwa bahasa Betawi merupakan bahasayangmenarik untuk diteliti. Dapat dibayangkan “kerugian” ilmu yang kita alami jika pada harta karun ilmiah initerjadi sesuatu yang tidak kita harapkan.

Sikap Bahasa Penutur dan Pemertahanan Bahasa

Dua tulisan kebahasaan baru-baru ini melukiskan hasil yang menarik bila dilihat dari sikap bahasa penutur.Penelitianalm.Gunarwan (2006), seorang ahli sosiolinguistik dan pragmatis dari FIB UI, melaporkan beberapa bahasa daerah, yakni bahasa Lampungdengan penutur 1,5juta orangdan bahasa Jawa dengan penuturmendekati angka 80 juta orang, tengah mengalami pergeseran. Bahkan, untuk bahasa Lampung sudah sampai pada ketirisan diglosia yang kritis. Beliau meramalkan, jika tidak ada upaya yang konkret dan tepat,bahasa Lampung akan punah 75-100 tahun kemudian.

Dalam pada itu,tulisan Suhardi (2011), salah satu pakar sosiolinguistik yang kita miliki, melaporkanpenelitian Pigome (2009) bahwa bahasa Mee (dipakai di Kabupaten Paniai, Papua), yang hanya berpenutur 100 orang, akan tetap bertahan meskipun di daerah itu dipakai juga bahasa Moni danbahasa Indonesia.Argumentasinya adalahadanya kemauan para penutur bahasa tersebut tetap memakai bahasanya dalam berbagai ranah: pendidikan, keagamaan, dan administrasi pemerintahan dan situasi formal maupun nonformal.

Paling tidak dapat ditarik inferensi dari kedua tulisan itu, yakni sikap bahasa penutur lebih penting daripada jumlah penutur dalam kaitannya dengan keberlangsungan hidup suatu bahasa.

Jauh sebelumnya, Sumarsono (1990) dalam disertasinya juga telah membuktikan premis itu.Bahasa Melayu Loloan di Bali, yang hanya didukung oleh 253 kepala keluarga, mampu bertahan hingga sekarang. Terbuktikan dalampenelitian itu sikap-sikap positif darietnik Loloan telah berhasil mempertahankan keberadaan bahasanya itu, antara lain,sikap kesetiaan pada bahasaibu.

Sikap Bahasa Penutur dan Globalisasi

Sebagai bagiandari warga dunia,setiap suku bangsa, malah setiap pribadi, takakan luput dari era globalisasi. Kecanggihan media turut memperlancarproses globalisasi.Internet, umpamanya, membuat batas-batas waktu danruang tidak ada lagi. Fenomena ini, bagi bahasa daerah bisa mendatangkan sisi positif dan negatif. Tanpa sikap positif dari penuturnya,“beban” yang dipikul bahasa daerah akan semakin berat saja dalam keberlangsungan hidupnya. Sebagaimana disinggung oleh Gunarwan (2006),dalam era globalisasi bahasa yang bisa berperan secara luaslah yang memegang peranan penting.Pernyataan tersebut harus disikapi secara bijaksana dan proporsional.Untuk konteks tertentu,bisa relevan, umpamanya,jika hendak berkiprah dalam skala internasional.Namun, dalamranah-ranah kedaerahan, kekariban, kekeluargaan, pernyataan tersebut kiranya tidak relevan.Pada hakikatnya,era globalisasi bukanlah faktor yang menakutkan bagi kelangsungan hidup suatu bahasa daerah. Yang penting adalah penuturnya:masih memiliki sikap positifkah,mencintaikah,masih banggakah pada bahasa etnisnya?Tambahan pula,hak hidup, peran, dan fungsi masing-masing bahasa di Indonesia telah diatur dan dijamin olehundang-undang. Bahkan, dunia pun, misalnya,lewat UNESCO,begitu peduli padabahasa ibu,tampak dengan penetapan hari ibu internasional pada tanggal 21 Desember.

Memang,kesadaran masyarakat duniakian tinggi atas pentingnyabahasa ibu. Artinya,isu ini bukan menjadi masalah etnis tertentu saja, melainkan menjadi isu global. Berkenaan dengan globalisasi, Comrie (2003) mengatakan bahwa masyarakat saat ini memperlihatkan mobilitas fisik dan maya yang tinggi sehingga tanpa disadari akan mengantarkan sekitar 90 persen bahasa-bahasa di dunia sekarat atau punah dalam waktu seratus lagi.Akan jauh lebih baik, jika pernyataan Comrie tersebut dijadikan pemicu timbulnya kesadaran kita, dengan demikian, kita“engeh” ,bahwa kita perlu memperhatikan, menjaga, merawat, dan melestarikan salah satu harta karun dari budaya etnis kita, yakni bahasa Betawi.

Penelitiantentang Pemertahanan atau Pergeseran Bahasa Betawi

Bila berbicara mengenai pemertahanan atau pergeseran suatu bahasa, mau tidak mau,kita pada hakikatnyaberbicara mengenaisikap penuturbahasa yang bersangkutan.Faktor-faktor lainnya hanya pendukung dan merupakan konsekuensi logis dari sikap penutur.Sikap bahasa yang positif, tentunya akan melahirkan tetap digunakannya bahasaibu (daerah) dalamkeluarga, dalam ranah-ranah kekariban dan ketetanggaan, misalnya.Dengan demikian pula,transmisi bahasa ibu tidak tersendat lantaran bahasa ibu dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dan, terjadi pemertahanan bahasa ibu, yang pada gilirannya akan membuat suatu bahasa ibu tetap hidup.

Sepengamatan saya setakat ini belum ada penelitian yang mengkhususkan pada pemertahanan/pergeseran bahasa Betawi. Memang ini memerlukan waktu, sumber daya manusia, dan dana yang besar mengingat tersebarnya basis-basis wilayah penutur bahasa Betawi saat ini. Harus ada langkah-langkah terpadu dan terprogram dari berbagai pihak yang terkait.Dengan begitu, tugas menjadi lebih terbagi,professional, dan hasilnya lebih akurat.Misalnya,universitas, dengan ahli sosiolinguistik dan perencana bahasanya,danBadan Bahasa harus menjadi pelopor bersama dalam mengawali penelitian ini.

Tesis Fahrizal sebenarnya memperlihatkan pemertahanan bahasa Betawi masih ada dalam masyarakat Betawi di Condet.Faktor-faktor yang mendukung itu, umpamanya, masih digunakannya bahasa Betawi dalam ranah-ranah yangdalam teori diglosia Ferguson dan Fishman disebut ranah rendah. Akan tetapi, karena fokus penelitiannya memang tidak ditujukan pada permertahanan bahasa,manfaat praktisnya juga tidak diarahkan ke sana.

Sementara itu,tesisUtami hanya menyiratkan bahwa bahasa Betawi masih dipakai di wilayah Depok karena memang topik penelitian tersebutadalah kepatutan pemakaian pronomina “gue” dan “elu”.

Mendesaknya penelitiansosiolingustik yang diarahkan kepadapemertahanan dan pergeseran bahasa Betawi kian kuat tatkala kita mengaitkan dengan kondisibahasa Betawi saat ini. Ada indikasi bahwa bahwa Betawi tengah mengalami pergeseran.Namun, sekali lagi ini sekadar indikasi yang dikaitkandengan teori yang diajukan Edwards(1985).Berbagai kemungkinan masih sangat terbuka.Menurut Edwads (1985: 71-72),bahasa sedang bergeser bila:

1.Kehilangan basis wilayahnya dan jumlah penuturnya menurun;

2.Bahasa dalam keadaan semakin “terancam” oleh bahasa lainnya (bahasa Indonesia, misalnya);

3.Bahasa itu hanya dipakai di daerah pedesaan.

Tampak dari ketiga faktor yang diajukan Edwards ada korelasinya dengan bahasa Betawi.Tapi, yang lebih penting dari melulu teori dan indikasi ialah langkah konkret dari kita.Kita pertama-tama ada baiknya memetakan situasi kebahasaan bahasa Betawi sekarang : daerah penuturnya dan masalahnya.Langkah ini penting mengingat daerah penutur Betawi kini terpencar dan memiliki masalah masing-masing. Sesuai dengan masalahnya itu, kitamemperlakukan atau “mengobati”-nya jika memangbahasa Betawi telah “sakit”.

Setiap bahasa memiliki kekhasan internal dan eksternal. Jadi, suatu teori tidak selalu berhasil diterapkan dalam setiap bahasa. Dan tidak selalu relevan pula dengan setiap bahasa. Saya mengangkatteori Edwards, salah satunya, untuk mengingatkan atau menyadarkan bahwa bahasa Betawi saat ini, menurutsalah satu teori sosiolinguistik, tengah diduga tergeser. Lebih jauh, sebagaimana diutarakan di muka,dengan adanya kesadaran, kita menjadilebih memperhatikanbahasa Betawi. Kita bisa menganalogikan jikatahu dan sadar buah hati mengalami“sakit”, kita akan lebih memperhatikan, menyayangi, dan mengobatinya.

SikapPenuturdan Teori Pembalikan Pergeseran Bahasa

Tanpa harus merujuk pada teori-teori ilmiah yang canggih, pada dasarnya,kita dengan akal sehat telah tahu bahwamati hidupnya bahasa kita bergantung pada diri kita sendiri. Bahwa teoripembalikan pergeseran bahasaFishman (1990, 1991, 1993 dalam Gunarwan 2006) mencerminkan pentingnya faktor penutur bahasa dalam “pembalikan pergeseran bahasa”semakin menguatkan asumsi itu.

Jauh sebelum teoritersebut hadir,Eliezer Ben Yehuda (Fellman 1974, dalam Gunarwan 2006) pada akhir abad ke-19, tentunya tidak sadar bahwadia tengah melakukan teori pembalikan pergeseran bahasa Fishman. Hanya berbekal sikap kecintaannya pada bahasa Ibrani,yang sedang sangat terpuruk saat itu, dia melakukan apa yang disebutupaya “pembalikan pergeseran bahasa”. Dimulai dengan di rumah keluarganya sendiri,Yehuda menanamkan disiplin pemakaian bahasa Ibrani, bahwa di antara orang Yahudi harus menggunakan bahasa Ibrani. Kini, bahasa itu menjadi bahasa negara Israel,menunjukkan keberhasilan upaya yang diawali dengan sikap sungguh-sungguh dari seorang penuturnya.

DI Indonesia sendiri, teori ini masih menjadi kontroversi. Bahkan, di antara ahli bahasa,misalnya,masih terdapat perbedaan pendapat.Prof. Basuki Suhardi(2011) menyatakan ketidakyakinannya; sementara Prof. Asim Gunarwan(2006) setuju jika teori pembalikan pergeseran bahasa diterapkan di Indonesia.

Pelurusan Persepsi Bahasa Betawi

Di atas telah disinggung, adabeberapapersepsinegatif atas bahasa Betawi yangberkembang di masyarakat.Persepsi ini bisa membuat sikap bahasa penutur terpengaruh ke arah negatif pula.Akibatnya,proses transmisi bahasa Betawiantargenerasi bisa terganggu.Melihat hal tersebut, sudah sepatutnyalah kita mendudukkan dan meluruskan pada porsi yang sebenarnya.

Yang dimaksud di sini persepsi yang berkaitan dengan pemakaian pronomina “gue” dan “elu”.Masyarakat menganggap kedua kata itu kasar, dengan demikian,bahasa Betawi juga kasar. Terlalu sederhana kiranya logika itu.

Pada beberapakasus yang saya temukan, sesungguhnya,persepsi itu muncullantaran mereka menggunakan kerangka berpikirbahasa (daerah) lain, yakni bahasa Jawa dan Sunda.Seperti kita ketahui bersama, kedua bahasa tersebut mengenaltingkatan-tingkatan bahasa:halus sekali,halus, kasar, dst.Tampakkurang relevan jika kita menerapkan jalan pikiran ini pada bahasa Betawi yang tidak mengenal “unggah-ungguh”.Penemuan ni terdukung pula olehfakta bahwa informan yang menyatakandemikian umumnya leluhurnya (kakek-neneknya) berasal dari etnik Jawa dan Sunda – sekalipun mereka lahir di Jakarta dan hidup dalam komunitas Betawi pula.

Secara struktural dan pragmatis, ini peran para linguis, bisa dibuktikan bahwa pronomina “gue” dan “elu”bukan bentuk yang kasar.Pemakaiankedua pronomina ini, bagi saya, merupakan masalah strategi komunikasi yang berkaitan dengan dalil-dalil sosiolinguistik:dipakai dalam situasi apa, dengan siapa, dll. Jika tepat pemakaiannya, tidak terjadi “ketidakpatutan” dalam komunikasi (lihat pula Utami, 2002), apalagi “kekasaran”.

Jika dikaitkan dengan sikap bahasa penutur,faktor ini perlu terus “disosialisasikan” hingga rasa kecintaan penutur atas bahasa Betawi tidak terganggu.

Penutup

Dalam konteks negara Indonesia,setiap bahasa daerah diberi hak hidup dan dijamin oleh UUD 1945.Dalam politik bahasa nasional, juga telah diatur fungsi dan peran bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Jika telah demikian kondusifiklim kehidupan untuk bahasa daerah,mati hidupnya suatu bahasa kian jelas,lebih bergantung pada kita. Kitalah yang harus menjaga, merawat, dan melestarikannya. Sama dengan bahasa Betawi,bukankah bahasa ini milik kita bersama? Bukannya milik orang lain. Tugas dan kewajiban kita semuamempertahankan keberlangsungan hidup bahasa Betawi.

Beberapa upaya praktis, sebagaimana sering diangkat oleh para bahasawan dan perorangan yang peduli pada kelangsungan hidup bahasa daerahnya,pada dasarnya, lagi-lagi berawal dari sikap positif kita,walaupun dalam pelaksanaannya bisa melibatkan pihak atau instansi lainnnya, umpamanya, pemberian penghargaan pada karya-karya berbahasa daerah (seperti yang dilakukanbudayawan Sunda, Ajip Rosidi dengan Rancage-nya),pengajaran pada bahasa daerah sebagai muatan lokal,penyelenggaraan seminar tentang masalah-masalah kebahasadaerahan,atau yang lebih konkret, seperti yang dilakukan para anak muda di Yogya.Sejalan dengan usaha penyablonannya, mereka mendesain baju dengan gambaralat-alat tradisional, buah-buahan lokal, dan binatang, yang disertai pemberian nama dari kosakata daerah (Lauder, 2011). Upaya ini dapat dinterpretasikan kembali oleh generasi muda Betawi untuk turut melestarikan bahasa Betawi.

Mengenaibahasa Betawi sebagai muatan lokal untuk sekolah-sekolah, akan lebih efektif jika dipadukan dengan pengajaran sastra.Siswa-siswa diharapkan dengan karya-karya sastra (Betawi) menjadi lebih dekat dengan lingkungan, alam,kesenian, dan bahasanya sendiri.Dari sini, akan lebih memunculkan aspek afektif(lihatpula Hinton 1999) bahasa karena karya-karya sastra lebih mampu menerbitkan keindahan dan ketersentuhan hati.Secara psikologis, yang datang dari hati akan lebih berkesan.Lebih jauh,rasa cinta atas bahasa Betawiakan muncul dan lebih kuat.

Di sisi lain, kerja samaantarinstansi yang terkait, seperti pemda, Badan Bahasa,lembaga-lembaga sosial,dengan universitas setempat perlu ditingkatkan baik dalam hal perencanaan maupun penerapannya. Bisa pula bekerja sama dengan media-media massa guna membuat dan memperkerap acara-acara kesusastraan, kesenian, dengan pengantar bahasa lokal yang bersangkutan.

Kampanye gerakan pemakaian bahasa daerah, yang diangkat oleh Gunarwan (2006),bisa dipertimbangkan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, bekerja sama dengan Badan Bahasa,Balai Bahasa, dan universitas setempat. Namun, penerapannya harus dirancang dengan cermat danmempertimbangkan budaya setempat.

Namun, bagi saya, yang penting saat ini adalah memetakan situasi dan kondisitermutakhirdari bahasaBetawi , meliputi wilayah penuturnya, jumlah penuturnya, dan yang terpenting mendiagnosis masalahnya.Berdasarkan hasildari upaya tersebut,dicari solusinya.Tentu saja,akan lebih baik, jika pemetaan bahasa melibatkan pemerintah setempat, Badan Bahasa, dan ahli-ahli sosiolinguistik.Dengan demikian,akan terciptacetak biru, tujuan yang jelas, dan langkah operasional yang tepat.

Moeliono (2011) menyatakan bahwa tidakmungkin sekian banyak bahasa daerah dilindungi dengan cara yang diamanatkan undang-undang.Masih menurut beliau, yang perlu digiatkan adalah pembuatan survei bahasa dan pemanfaatan sensus penduduk.

Tak penting bahasa Betawi kini punya siapa, yang penting sikap penuturnya kudu positif pada bahasanya. Rasa cinta pada bahasa merupakan penjelmaan dari sikap positif kita pada suatu bahasa. Upaya sehebat apa pun, tanpa didukung oleh penuturnya, percumasaja. Tabik.

Daftar Kepustakaan

Barreoa, Andoni dkk. 2000. “World Language Report: a Preliminary Approach”, Linguistic Heritage of

India and Asia. Mysore, India: Central Instituteof Indian Languages.

Comrie, Bernard dkk. 2003. The Atlas of Languages:The Orgin and Development of Languages

Throughout the World. Singapore: Star Standard.

Edwards, John. 1985. Language, Society andIdentify. Oxford: Basil Blackwell.

Fahrizal. 2001. “Penggunaan Bahasa dan Identitas Etnis.” Tesis. Universitas Indonesia Depok.

Fergusson, Charles.1959. “Diglosssia” dalam Word 15: 325-344.

Fishman, J.A. 1972. Language and Nationalism. Rowley: Newbury House Publisher.

Grondona, Mariano. 2000. A Cultural Typology of Economic Development”, dalam Culture Matters: How

Values ShapeHuman Progress, editor Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington. New York:

Basic Book. 44-45.

Gunarwan, Asim.2000.“Peran Bahasa Sebagai Pemersatu Bangsa” , dalam Kajian Serba Linguistik

untuk Anton M. Moeliono Pereksa Bahasa, editor Bambang Kaswanti Purwo.Jakarta: Gunung Mulia.

-------------------. 2006. “Kasus-kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa

Indonesia?” dalam Linguistik Indonesia 1: 95-113.

Lauder, RMT Multamia. 2011. “Kepedulian terhadap Keberagaman melalui Revitalisasi Bahasa

Minoritas”. Naskah, belum Terbit.

Moeliono, Anton M. 2011. “Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa Indonesia Setakat Ini.” Naskah,

belum Terbit.

Muhadjir. 2000. Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta:Yayasan Obor.

-----------.2011. “Arah Perkembangan Bahasa Indonesia”. Naskah, belum Terbit.

Pigome, R. 2007. “Pemertahanan Bahasa Mee di Kabupaten Panai Provinsi Papua: Penelitian Etnografis.”

Tesis. Universitas Negeri Jakarta.

Sneddon,James. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney:

University ofNew South Wales Press.

Sobarna, Cece. 2007. “Bahasa Sunda sudah Diambang Kematiankah?”., dalam Makara 11, I: 13-17, Juni.

Suhardi, Basuki. 2011. “Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah.” Naskah, belum Terbit.

Sumarsono. 1990. “Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali.” Disertasi. Universitas Indonesia

Depok.

Utami, Dhyah. 2002. “Penilaian Kepatutan Penggunaan Pronomina Persona Gue dan Elu di Kalangan

Kelompok Dosen dan Mahasiswa Universitas Indonesia, Depok.” Tesis. Universitas Indonesia Depok.

Wilasa, Desak. 1999. “Bahasa Bali Lumpuh Tertindas Zaman?”. Harian Nusa, 17 Oktober, hlm 10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline