Penyitaan buku oleh kelompok-kelompok tertentu (kita tahu sendiri) bukanlah hal yang baru. Beberapa tahun terakhir, sering terjadi penyitaan buku oleh aparat keamanan karena berbagai alasan. Mulai dari alasan mencantumkan PKI, DN Aidit hingga ke yang belum lama terjadi yaitu kisah mengenai Anarko yang katanya akan menjarah pulau jawa.
Walaupun kisah itu tidak terjadi, tapi yang memiriskan adalah penyitaan yang terakhir itu terjadi pada waktu yang berdekatan dengan Hari Buku Sedunia. Itu perlu kita renungkan kembali di Hari Buku Nasional ini.
Fernando Baez, seorang Peneliti Perpustakaan dan dunia Perbukuan dari Amerika Latin, mencari tahu tentang ini. Dalam bukunya yang berjudul "Penghancuran Buku dari masa ke masa", Baez menjawab alasan kenapa orang-orang sepanjang sejarah dunia sering memusnahkan buku.
Memang dari situ kita ketahui, kalau kasus penyitaan dan kemudian pengrusakan buku bukan baru pertama kali terjadi di Indonesia.
Istilah penyitaan yang dipakai juga untuk menyebut perilaku yang dilakukan oleh beberapa kelompok itu, merupakan istilah yang lembut. Karena sebenarnya buku-buku yang disita itu nasibnya tidak diketahui lagi.
Sulit kita membayangkan buku yang disita itu kemudian diperlakukan dengan baik. Buku memang seyogya nya dibaca dan penyitaan adalah bentuk penghancuran karena menghalangi natur utama dari buku itu.
Baez mengatakan bahwa penghancuran buku melalui beberapa tahap yaitu pembatasan, peminggiran, penyensoran, penjarahan dan terakhir penghancuran. Maka penyitaan yang dilakukan oleh Polisi itu dapat dipastikan akan berujung pada penghancuran.
Menarik bahwa yang dilakukan oleh para penghancur buku dalam sejarah menurut Baez, sebenarnya adalah upaya menghapus ingatan.
Buku adalah rekaman ingatan di masa lalu yang juga mewariskan cara berpikir tertentu. Sehingga dalam arti ini, para penghancur buku bukanlah orang-orang yang tidak paham tentang buku. Justru mereka sangat paham dengan buku yang akan dihancurkannya.
Menurut Baez, orang-orang yang ingin menghancurkan buku sebenarnya ingin membasmi ingatan yang merasa jadi ancaman bagi ingatan lain yang ingin menguasai suatu konteks tertentu.
"Secara umum, biblioklas adalah orang yang berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tidak biasa, cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania, dan cenderung berada dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang sedang berkuasa, karismatik, dengan fanatisme berlebihan pada agama atau paham tertentu.", ujar Baez