Fakta bahwa ada Stigma Sosial yang muncul akibat pandemik covid-19 ini sesungguhnya adalah hal yang wajar tapi tak bisa dianggap remeh. Bagi kelompok masyarakat yang tidak mendapat stigma, tentu hal itu tidak perlu dikhawatirkan.
Tapi rupanya seiring krisis wabah ini terus merebak, stigma sosial yang merugikan banyak pihak, tidak bisa dipungkiri lagi keadaannya. Merespon persoalan ini, Gerakan Merawat Nalar (GEMAR) yang dimotori oleh Gerry Nelwan, S.Pd. menggelar diskusi bertajuk "Stigma Sosial sebagai Tantangan bagi Penyelesaian Pandemi Covid-19".
Beberapa hal perlu dicatat sebelum lanjut. Yang saya paparkan disini adalah ide-ide yang bisa saya tangkap selama diskusi. Yang diundang sebagai Pemantik Diskusi adalah Lidya Kandowangko yang bicara mengenai asal muasal stigma sosial. Lalu Krueger Tumiwa yang mengkaji dari sudut pandang psikologi Erich Fromm tentang Narsisme Sosial. Ada juga Alter Wowor yang melihat bagaimana menyikapi Stigma Sosial secara wajar dan bertanggung jawab. Lalu saya yang berbicara mengenai bagaimana cara menyikapi Stigma Sosial dari perspektif kekristenan.
Pemaparan menarik dimulai dengan tiga faktor yang menyebabkan munculnya Stigma Sosial. Pertama, ada relasi Kuasa yang timpang menyebabkan orang yang berkuasa bebas untuk memunculkan informasi palsu yang memunculkan stigma. Kedua, penyajian diri yang problematik dari pasien penyakit menular. Ketiga, maraknya informasi yang seperti bom terus-menerus menyerang dan meledakkan kemampuan orang untuk mengolah informasi sehingga tak mampu lagi membedakan yang benar dan salah.
Fenomena Stigma Sosial ini kalau dilihat dari perspektif Slavoj Zizek dalam bukunya Pandemic! memang bisa terjadi karena kita sekarang bukan hanya mengalam Pandemik secara medis yaitu covid-19, tapi juga karena kita juga diserbut dengan Pandemik Ideologis (Hoax, rasism dst.) Dalam situasi seperti ini, mau bagaimanapun pasien covid-19 menyajikan dirinya, entah itu mengisolasi diri atau diisolasi, mereka akan selalu ada dalam situasi problematic. Sama seperti yang dialami oleh petugas-petugas medis yang terpapar virus corona dan akhirnya menyebabkan keluarganya harus diusir dari daerah tempat tinggalnya.
Dari contoh itu juga kita bisa melihat bagaimana stigma memainkan peranan buruk bagi orang-orang yang tidak bersalah. Walaupun seperti dikatakan oleh salah seorang peserta diskusi bahwa stigma dalam batas tertentu berguna untuk memicu ketakutan sehingga masyarakat bisa waspada menghadapi virus corona ini. Hal ini penting karena belajar dari Italia, dimana mereka kewalahan menampung pasien covid-19 akibat masyarakat yang menganggap remeh persoalan ini. Memang disamping memberi dampak negatif, tapi juga stigma memberi dampak yang positif.
Nah, stigma ini bisa muncul karena adanya ketakutan berlebihan, yang oleh salah satu peserta diskusi disebut sebagai kecemasan eksistensial. Kecemasan ini bisa muncul karena berhadapan dengan situasi kematian. Itu mengapa saat berhadapan dengan penyakit Demam Berdarah misalnya, masyarakat tidak sampai memunculkan stigma sosial, karena situasi sekarang masih covid-19 yang membawa ancaman kematian. Untuk mengatasi stigma yang membawa dampak buruk, maka para pemikir agama khususnya perlu memberi tempat khusus bagi refleksi teologis menghadapi kecemasan eksistensial itu.
Dari diskusi yang berlangsung memang kelihatan bahwa ketakutan dan kecemasan eksistensial itu dengan mudah bisa memunculkan stigma sosial. Perlu ada pemikiran yang penuh mawas diri, sebab kadangkala kecemasan eksistensial itu membuat orang dengan mudah juga memusnahkan orang lain dengan kepentingan diri sendiri. Perlu sadar kalau ada stigma sosial yang beredar, karena stigma tersebut seringkali disertai dengan informasi palsu yang membuat kita bertindak gegabah, berlebihan dan akhirnya merugikan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H