Lihat ke Halaman Asli

Perceraian di Kalangan Artis: Fenomena Pergeseran Budaya

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkembangnya dunia Informasi dan teknologi memberi ruang dan perubahan dalam berbagai realita kehidupan. Perubahan itu sendiri memberi dampak negatif maupun positif. Masyarakat semakin dipacu untuk bergerak lebih maju dari pada apa yang telah ada. Meledaknya informasi dimana-mana dengan adanya teknologi internet memberikan ruang baru dalam mencermati setiap perubahan yang terjadi. Salah satunya adalah budaya (Culture). Dengan hadirnya perubahan itu, budaya semakin terkontaminasi. jika salah menempatkannya maka kita akan mengalami perubahan pada pola hidup dan aturan dalam cara berinteraksi. Ambil salah satu pengaruhnya, yakni hadirnya budaya popular atau Popular Culture.

Popular Culture atau sering disebut budaya pop mulai mendapat tempat dalam kehidupan manusia Indonesia. Dominic Strinati mendefinisikan budaya pop sebagai “lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus” (Strinati, 2003).

Budaya pop adalah budaya pertarungan makna dimana segala macam makna bertarung memperebutkan hati masyarakat. Dan sekarang ini, model praktis dan pemikiran pragmatis mulai berkembang dalam pertempuran makna itu. Budaya pop sering diistilahkan dengan budaya McDonald atau budaya MTV. Kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan dalam pola kehidupan menjadi salah satu ciri khasnya. Disini, media, baik cetak atau elektronik, menjadi salah satu ujung tombak public relation untuk menerjemahkan budaya pop ala MTV langsung ke jantung peradaban masyarakat itu. Televisi, misalnya, adalah media yang efisien dalam mengkomoditaskan segala sesuatu dan menjualnya dalam bentuk praktis agar dapat dengan mudah dicerna dan ditelan oleh masyarakat (Fertobhades, 2006). Selain sebagai pemberi informasi media massa juga mempunyai beberapa fungsi. Fungsi pertama selain sebagai pemberi identitas pribadi khalayak.

Sebagai pemberi identitas pribadi, media massa juga berfungsi sebagai model perilaku. Model perilaku dapat diperoleh dari sajian media. Apakah itu model perilaku yang sama dengan yang dimiliki atau bahkan yang kontra dengan yang dimiliki. Fungsi ke dua sebagai sarana untuk mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media). Manusia memiliki nilai-nilai hidupnya sendiri yang pada gilirannya akan ia gunakan untukmelihat dunia. Namun manusia juga perlu untuk melihat nilai-nilai yang diciptakan oleh media. Seperti yang kita ketahui, media membawa nilai-nilai dari seluruh penjuru dunia. Implikasinya adalah konsumen media dapat mengetahui nilai-nilai lain di luar nilainya. Fungsi ke tiga media massa sebagai pemberi identitas, dimana media merupakan sarana untuk meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri. Untuk melihat serta menilai siapa, apa dan bagaimana diri seseorang, pada umumnya dibutuhkan pihak lain. Seseorang harus meminjam kacamata orang lain. Media dapat dijadikan sebagai salah satu kacamata yang dipergunakan untuk melihat siapa, apa serta bagaimana diri ini sesungguhnya. Media massa memungkinkan seseorang untuk dapat mengetahui posisi sanak keluarga, teman dan masyarakat. Baik posisi secara fisik, secara intelektual maupun secara moral mengenai suatu peristiwa. Fungsi media massa yang satu ini biasanya dapat dilihat pada surat untuk redaksi, kolom pembaca dan yang sejenis. Pada multimedia fungsi ini menjadi sangat menonjol karena kita dimungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan orang lain dalam waktu relatif lebih cepat. Fungsi ke empat media massa menurut McQuail adalah sebagai hiburan. Berkaitan dengan itu media massa menjalankan fungsinya sebagai pelepas khalayak dari masalah yang sedang dihadapi. Rasa jenuh di dalam melakukan  aktivitas rutin pada saat tertentu akan muncul. Di saat itulah media menjadi alternative untuk membantu kita di dalam melepaskan diri dari problem yang sedang dihadapi atau lari dari perasaan jenuh.

Khalayak juga memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis dari mengkonsumsi media massa. Manusia tidak saja perlu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, namun ia juga harus memenuhi kebutuhan rohaninya, jiwanya. Kebutuhan ini dapat terpuaskan dengan adanya media massa. Media massa memenuhi kebutuhan tersebut dengan sajian yang menurut media yang bersangkutan dapat dinikmati dan memiliki nilai estetika.

Media massa juga dapat berfungsi sebagai pengisi waktu, dimana ini juga termasuk fungsi media massa sebagai sarana hiburan bagi khalayak. Kadang orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan. Mengkonsumsi media massa tanpa memiliki tujuan adalah salah satunya. Penyaluran emosi. Ini merupakan fungsi lain darimedia massa sebagai sarana hiburan. Emosi pasti melekat dalam diri setiap manusia. Dan layaknya magma yang tersimpan di dalam perut bumi, emosi ada saatnya untuk dikeluarkan. Emosi butuh penyaluran, dan salah satu salurannya adalah dengan mengkonsumsi media massa atau bahkan memproduksi media yang senada dengan emosinya (Wuryanta & Handayani, 2006).

Televisi menjadikan manusia sebagai komoditas yang dapat “diperjualbelikan” dengan alasan: ada yang membutuhkannya. Dalam pengertian ini, seorang idola turut ikut dijual oleh media dalam konsep budaya pop ini. Idola harus menjual dirinya, televisi (dan media lain) menjadi semacam “toko serba ada” yang memajang idola itu agar dapat dibeli oleh masyarakat. Dan masyarakat bisa melihat, memegang, bahkan mencicipi apa yang dijual oleh idola dan medianya itu. Semua itu mempunyai model kepentingannya masing-masing, alias saling membutuhkan. Salah satu unsur memerlukan unsur yang lain.

Dari sudut pandang lain, idola, yang kemudian difasilitasi oleh media dalam bingkai budaya pop, adalah salah satu cara manusia mengekspresikan dirinya. Cara-cara yang ditempuh dalam pengekspresian diri itu dapat bermacam-macam. Tampil atau Menampilkan Diri, adalah salah satu cara untuk membuat diri seseorang menjadi seorang idola. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai keinginan untuk menampilkan dirinya, dalam bentuk apapun dan dalam media apapun. Dengan menampilkan dirinya ke muka umum, orang lain dapat melihat sesuatu kemampuan tertentu yang dimiliki seseorang. Itupun kalau punya kemampuan, jika tidak maka

tampil hanya sekedar tampil: “Yang penting saya dapat tampil dan dilihat banyak orang, masalah tidak punya kemampuan untuk tampil itu urusan belakangan.”(Fertobhades, 2006).

Disinilah sebenarnya letak fenomea itu. Media telah memberikan tempat bagi seorang figur untuk mendapatkan image-nya. tapi, figur tersebut tidak mampu untuk mengelola image-nya itu sendiri. disinilah letak kesalahan dalam mencermati perubahan itu. Ambil contoh yang paling heboh dalam perubahan ini adalah perceraian di kalangan artis.

Seperti dalam sebuah sinetron, masyarakat melihat dan menilai sendiri apa yang ditampilkan para artis itu. Media infoteinmet mengupas habis proses  kawin-cerai para artis. Seakan-akan telah menjadi suatu pola kebiasaan yang dengan sendirinya juga akan merangsang masuk ke dalam masyarakat dan merubah apa yang telah ada. Lalu dimana letak budaya pernikahan yang dikatakan sakral dan mempunyai nilai dalam budaya indonesia sebagai budaya komunal.

Di sini diperlukan suatu konsep pemetaan pikiran terhadap budaya yang dikonsumsikan, terutama budaya populer yang sekarang ini merebak. Kita tidak boleh dengan mudah mengambil dan menyatukan budaya itu dengan budaya kita. Budaya yang diadopsi dari luar adalah budaya individualisme, sedangkan kita adalah negara yang berbudaya komunitas. jadi apa yang ditampilkan media massa tentang figur tersebut dengan sendirinya juga akan cepat mendapat tempat di masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu pemikiran kembali terhadap budaya tersebut untuk dapat dikonsumsikan oleh masyrakat. Atau dengan sendirinya budaya itu akan hilang dan identitas diri kita sebagai bangsa akan menjadi sampah bagi budaya yang diadopsi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline