Lihat ke Halaman Asli

Menyingkapi Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Menjawab Tantangan Krisis dan Kepemimpinan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia saat ini diperhadapkan dengan banyak permasalahan, Apakah ini wajah indonesia yang sebenarnya? Media massa baik swasta maupun negeri sibuk mengurusi, mencari dan menampilkan wajah-wajah wakil rakyat dengan moral dan kebobrokan mereka atas hak rakyat. Inikah ciri khas pemimpin di negara ini? Bukankah, pemimpin (leader) adalah sosok yang antara lain mampu menggerakan perubahan sesuai visinya, berpikir terbuka, pembelajaran, dan mampu bertindak di tengah krisis sekali pun. Ataukah, wakil rakyat yang dipilih rakyat itu hanya sebagai seorang pimpinan (manager) yang hanya dapat bekerja dalam keteraturan, mereka menduduki jabatan hanya karena modal surat keputusan (SK) yang dimilikinya atau diangkat oleh atasan dan rakyatnya secara demokrasi.

Krisis selalu mengubah banyak hal. Cara kerja lambat dan konvesional jauh dari kreativitas di masa lalu tentu saja tidak dapat dipertahankan. Jika melakukannya, maka bahaya kehancuran akan semakin mendekatkan dirinya. Lihat saja, berbagai kejadian di sekeliling kita yang terjadi akibat kelalaian yang diperbuat. Persoalan makelar pajak, kisruh seputaran preman, sengketa tanah dan berbagai kasus korupsi yang terjadi. Seakan memberi gambaran bahwa belum tuntas masalah yang dihadapi, kemakmuran berubah menjadi bencana, busung lapar terus melanda dan mengancam generasi setiap saat, birokrasi lamban, kemiskinan, dst. Semua adalah buah yang harus dituai dan dirasakan sebagai hasil kerja dari pemimpin yang cuma pimpinan, ataupun kalau pemimpin adalah pemimpin yang tidak cerdas (tidak SQ based).

Dilip Mukerjea (1998) menyebut era krisis saat ini sebagai era daya saing kecerdasan (The Age of Competitive Intelligent). Artinya, setiap goncangan yang dihadapi harus dijawab dengan kecerdasan, kreativitas dan cara berpikir yang "canggih" dalam merespon setiap perubahan. Dan hanya pemimpin yang mampu memiliki kapasitas seperti inilah yang akan berhasil. Pemimpin yang cerdas akan menentukan entitas yang dipimpinnya menjadi pemenang (winner) dan tidak menjadi korban sebagai potongan sejarah yang terhapus.

N. N. Sawitri (2010) dalam bukunya, Fostering Your Child to be a Great Leader in Crisis mengemukakan bahwa krisis merupakan bagian dari kehidupan setiap orang yang dapat melemahkan ataupun menguatkan eksistensi seseorang. Melalui krisis, ada pembelajaran untuk lebih responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada diri sendiri, masyarakat, ataupun negara, sehingga dapat mengubah sesuatu yang bersifat mengancam menjadi tantangan yang progresif. Krisis bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan akumulasi dari berbagai keputusan-keputusan yang tidak tepat di masa lalu. Lalu bagaimana membentuk sosok pemimpin masa depan yang berkualitas dalam menghadapi krisis?

Saat ini untuk menjawab tantangan krisis adalah bukan merubah apa yang telah terjadi lewat perubahan tetapi menjadikan setiap masalah itu momen penting untuk menguji kualitas kepemimpinan yang telah ada. Tantangan yang berbeda menuntut cara yang berbeda pula, ibarat sebuah perjalanan, dibutuhkan bekal yang disesuaikan dengan lama dan jarak yang akan ditempuh. Sebab, masa depan tidak datang begitu saja, melainkan dia harus diciptakan. Sayangnya, negara, pemerintah dan individu lebih memilih mempertahankan apa yang terjadi saat ini (status quo) dari pada mengoreksi kerancuan yang terjadi. Pembiaran ditoleransi sepanjang tidak mengganggu kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga tanpa disadari neraca ternyata condong ke satu sisi. Keseimbangan bergeser secara alamiah karena ketidakadilan yang "sengaja" diciptakan oleh manusia sendiri untuk melindungi kepentingannya.

Beberapa fakta yang ditampilkan Sawitri (2010), memberikan gambaran bahwa alam Indonesia saat ini tidak sedang dimanipulasi namun terjadi. Banyak keluarga hidup di bawah garis kemiskinan, perlindungan hukum yang sangat minim, jumlah pengangguran dan pengemis semakin mendominasi seperti wabah pesakitan yang sentral, perencanaan tata laksana yang amburadul, busung lapar merajalela sekalipun berada pada daerah yang tergolong sentra penghasil pangan, kecelakaan transportasi yang meningkat justru tidak membuat pembelajaran tetapi dijadikan sebagai bencana yang harus dilakukan lagi kejadiannya, konflik yang terjadi di berbagai daerah. Tentu semua fakta ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa kepemimpinan yang dimiliki bangsa Indonesia tidak memiliki visi kepemimpinan yang merakyat. Hanya melakukan kerusakan dan melanggengkan status quo atas nama pembangunan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.

Krisis dan turbelensi saat ini menuntut respons yang tidak hanya cepat, melainkan juga tepat. Ibarat berdiri di tepi jurang, apakah akan pasrah terjatuh hingga ke dasarnya yang terjal atau berpikir dengan perencanaan yang panjang lebar? Tentu saja keduanya juga akan memberi hasil yang sama, karena yang dibutuhkan adalah tindakan dan kecepatan dalam mengambil keputusan sehingga dapat terhindar dari bahaya. Dengan demikian, dibutuhkan kepemimpinan yang berkelas, yaitu pemimpin yang mampu bertindak cepat, mengayomi dan mampu mensejahterahkan rakyatnya bukan sebaliknya hanya mementingkan kelompoknya.

"Vision, conviction, and courage made the diffeence for allo us"

___ Linsay Levin ___

Intinya, pemimpin yang menyingkapi kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat dan kebijaksanaan adalah para pemimpin yang bergerak dan bekerja dalam visi yang jelas. Saat ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan visioner, karena dengan visi, mampu menggerakan dan mengatasi krisis dengan tindakan bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi untuk lingkungan dan negerinya. Pemimpin visioner lahir dari kepekaan dan perenungan mendalam akan realitas yang dihadapi. Sedangkan visi (vision) lahir dari senjangnya realitas dan idealias, sehingga mendorong seseorang untuk mengejawantahkan idealitas dalam pikiran-pikirannya dalam bentuk tindakan-tindakan yang nyata. Dan tindakan yang nyata itu disebut sebagai misi (mission). Namun, hal mendasar yang perlu dijawab adalah di manakah dapat ditemukan pemimpin seperti ini?

Siapa lagi kalau bukan generasi berikutnya, mereka adalah anak-anak. Merekalah yang dapat dijadikan sebagai pemimpin itu. Mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan perubahan, mengisi kehidupan ini sebagai pemimpin yang layak diandalkan untuk lingkungannya atau minimal buat diri mereka sendiri. Untuk itu, sebaliknya pembangunan harus lebih banyak dititik beratkan untuk membangun kualitas mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline