Lihat ke Halaman Asli

Abdussalam J. Yamjirin

Teacher, Art, Linguistics, Classic Literature

Perjodohan Paksa dalam Perspektif Islam, Undang-undang, dan Kemanusiaan

Diperbarui: 31 Maret 2024   04:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rantai Belenggu | www.freepik.com

Perjodohan paksa, sebuah praktik primitif yang masih membelenggu sebagian masyarakat kelas bawah, merupakan fenomena kompleks yang sarat dengan konsekuensi negatif. Praktik ini sering dikaitkan dengan minimnya akses pendidikan yang layak, berakibat pada kurangnya pengetahuan tentang HAM (hak asasi manusia), khususnya hak-hak wanita.

Selain karena rendahnya pendidikan, perjodohan paksa termasuk simbol dari rendahnya status sosial dan kekayaan seseorang. Anak wanitanya diposisikan sebagai komoditas untuk "diperjualbelikan" demi keuntungan keluarga. Baik untuk menaikkan status sosial dengan mendapatkan menantu kaya dan terhormat, atau karena sungkan menolak lamaran akibat rendahnya harga diri orang tuanya dibanding orang yang melamar maupun yang menawarkan.

Lantas bagaimana Islam dan UU Indonesia memandang fenomena masyarakat kelas terbelakang ini?

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PRAKTIK PERJODOHAN PAKSA

Rasulullaah bersabda:

 اَتُنكَحُ اْلأيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
"Wanita yang sudah pernah menikah (janda) tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya*, dan wanita perawan tidak boleh dinikahkan sehingga diminta ijin(nya)**." (lihat: HR. Imam Muhammad bin Ismail 5133, 5134 dan Muslim 1422)
*wanita janda tak boleh dinikahkan kecuali ia sendiri yang meminta.
**wanita perawan tak boleh dinikahkan kecuali ia mengizinkan/ridho, bukan karena dipaksa.

Dalam riwayat lain

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا
"Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya." (HR. Muslim no. 1421) 

Ibnu Hajar Al-Asqalani, imam hadits terkemuka dari madzhab Syafi'i memberikan catatan:

  إن الترجمة معقودة لاشتراط رضا المزوجة بكرا كانت أو ثيبا صغيرة كانت أو كبيرة ، وهو الذي يقتضيه ظاهر الحديث
“Judul bab ini menjelaskan, bahwa disyaratkannya ridho dari mempelai wanita (dalam pernikahan), baik yang masih gadis ataupun janda; janda muda ataupun tua. Inilah yang sesuai dengan dzohir hadis.” (Fathul Bari)

Artinya, dalam Islam, ridhonya wanita apabila sudah baligh untuk dinikahkan adalah syarat pernikahan.

Pernikahan baru sah jika kedua mempelai saling ridho untuk menikah, tidak dengan dipaksa. Termasuk juga apabila orang tua memaksa anak perempuannya atas nama "taat pada orang tua". 

LALU BAGAIMANA JIKA ORANG TUA NEKAT MENJODOHKANNYA?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline